Belum Haji Sudah Mabrur

Oleh: Ahmad Tohari

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali, karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun.

Jadilah, Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka, ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren
kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal, Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa.
Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.

Yu Timah pernah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu, Yu Timah masih bisa menabung di BPR syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi, Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun, setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor
tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu, saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.

‘’Pak, saya mau mengambil tabungan,'’ kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.

‘’O, tentu bisa. Tapi, ini hari sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila senin?'’

‘’Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.'’

‘’Mau ambil berapa?'’ tanya saya.

‘’Enam ratus ribu, Pak.'’

‘’Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?'’

Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.

‘’Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.'’

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan, dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin
Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal, saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing
kurban.

‘’Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah
bulat hendak membeli kambing kurban?'’

‘’Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun, sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.'’
‘’Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.'’

Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan
oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul, karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin, saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang
suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu
Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.


Penulis adalah budayawan dan sastrawan.

Tulisan ini juga dimuat di Majalah MataAir edisi ke-7

"Awas, Culik Berkedok Agama"


Kisah yang mungkin Nyata

Seperti biasa saya sehabis pulang kantor tiba di rumah langsung duduk bersantai sambil melepas penat. Sepertinya saya sangat enggan untuk membersihkan diri dan langsung shalat. Sementara anak2 & istri sedang berkumpul di ruang tengah. Dalam kelelahan tadi, saya disegarkan dengan adanya angin dingin sepoi2 yang menghembus tepat di muka saya.


Selang beberapa lama seorang yang tak tampak mukanya berjubah putih dengan tongkat ditangannya tiba2 sudah berdiri di depanku.

Saya sangat kaget dengan kedatangannya yang tiba2 itu. Sebelum sempat bertanya…. siapa dia…tiba2 saya merasa dada saya sesak… sulit untuk bernafas…., namun saya berusaha untuk tetap menghirup udara sebisanya.

Yang saya rasakan waktu itu ada sesuatu yang berjalan pelan2 dari dadaku…… terus berjalan…. . kekerongkonganku. …sakittttttttt ……..sakit. …… rasanya. Keluar airmataku menahan rasa sakitnya,… . Oh Tuhan ! ada apa dengan diriku…..


Dalam kondisi yang masih sulit bernafas tadi, benda tadi terus memaksa untuk keluar dari tubuhku…


kkhh…….. .khhhh… .. kerongkonganku berbunyi. Sakit rasanya, amat teramat sakit. Seolah tak mampu aku menahan benda tadi… Badanku gemetar… peluh keringat mengucur deras…. mataku terbelalak.. …air mataku seolah tak berhenti.


Tangan & kakiku kejang2 sedetik setelah benda itu meninggalkan aku. Aku melihat benda tadi dibawa oleh orang misterius itu…pergi. ..berlalu begitu saja….hilang dari pandangan.


Namun setelah itu……… aku merasa aku jauh lebih Ringan, sehat, segar, cerah… tidak seperti biasanya.


Aku herann… istri & anak2 ku yang sedari tadi ada diruang tengah, tiba2 terkejut berhamburan ke arahku.. Di situ aku melihat ada seseorang yang terbujur kaku ada tepat di bawah sofa yang kududuki tadi. Badannya dingin kulitnya membiru. siapa dia???????.. Mengapa anak2 & istriku memeluknya ! sambil menangis… mereka menjerit… histeris.. terlebih istriku seolah tak mau melepaskan orang yang terbujur tadi…

Siapa dia……… ….????? ???


Betapa terkejutnya aku ketika wajahnya dibalikkan.. .. dia……..dia. …….dia mirip dengan aku….ada apa ini Tuhan…???? ????


Aku mencoba menarik tangan istriku tapi tak mampu….. Aku mencoba merangkul anak2 ku tapi tak bisa. Aku coba jelaskan kalau itu bukan aku.


Aku coba jelaskan kalau aku ada di sini.. Aku mulai berteriak… ..tapi mereka seolah tak mendengarkan aku seolah mereka tak melihatku…

Dan mereka terus-menerus menangis…. aku sadar..aku sadar bahwa orang misterius tadi telah membawa rohku Aku telah mati…aku telah mati.


Aku telah meninggalkan mereka ..tak kuasa aku menangis…. berteriak. ……
Aku tak kuat melihat mereka menangisi mayatku. Aku sangat sedih.. selama hidupku belum banyak yang kulakukan untuk membahagiakan mereka. Belum banyak yang bisa kulakukan ! untuk membimbing mereka.


Tapi waktuku telah habis……. masaku telah terlewati… . aku sudah tutup usia pada saat aku terduduk di sofa setelah lelah seharian bekerja. Sungguh bila aku tahu aku akan mati, aku akan membagi waktu kapan harus bekerja, beribadah, untuk keluarga dll.

Aku menyesal aku terlambat menyadarinya. Aku mati dalam keadaan belum ibadah.


Ohh Tuhan, JIKA kau ijinkan keadaanku masih hidup dan masih bisa membaca Tulisan ini sungguh aku amat sangat bahagia. Karena aku MASIH mempunyai waktu untuk bersimpuh, mengakui segala dosa & berbuat kebaikan sehingga bila maut menjemputku kelak aku telah berada pada keadaan yang lebih siap.


Cah Anyar


By : Zoom_@re

Huuu..huu…” terlihat seorang anak menangis dipojok ruangan. Dia adalah anak baru di ponpes Roudlatul Jannah. Laila Hayyina Sahala namanya. Lulusan SD, dan sekarang sedang mendaftarkan diri di Mts. Nawa Kartika.

Eh di kamar An-Nur ada cah anyar lho…” kata salah seorang santri yang bernama Nia.

Ah ketinggalan kau, aku sudah tahu, anaknya manis, tapi sayang kerjaannya nangis. Ha..ha..” Faizah tertawa.

Jangan gitu.. kamu pas baru disini juga nangis, mungkin dia belum terbiasa.” Tukas Nia mengingatkan.

Faizah diam ingat waktu jadi cah anyar.

Ba’da maghrib para santri mengaji Al-Qur’an sendiri-sendiri, kesempatan waktu ini biasanya tidak disia-siakan para santri dan mereka pakai sebaik-baiknya karena sesuai petuah ibu nyai, ba’da maghrib adalah waktu yang paling baik untuk belajar.

Laila masih teringat oleh ibu bapaknya di rumah. Ingin sekali ia pulang dan bercengkrama dengan mereka. Terkadang terbersit penyesalan mengapa dirinya memilih untuk mondok. Di sebelahnya mbak Masriyani yang biasa dipanggil Mbak Yani dengan sabar menenangkannya dan mengajarinya mengaji. Untuk sementara pikirannya tentang rumah terlupakan.

Esoknya, setelah Laila pulang dari tes pendaftaran di Mts. Nawa Kartika. Pikirannya tentang rumah muncul kembali. Di jalan ia sempatkan untuk mampir di wartel tentu saja menelfon ibunya.

Halo.. assalamu’alaikum..”

Wa’alaikumsalam.. jawab suara di seberang. Laila ya..” ucap ibunya yakin kalau itu suara anaknya.

Iya bu.. hiks..hiks..” laila tidak bisa menahan tangisannya. ”Bu.. laila kangen pengen pulang saja tidak usah mondok.” Tangis Laila pecah.

Ibu laila sebenarnya juga kangen dengan anaknya. Tapi dia ingin anaknya pandai mengaji tidak seperti dirinya. Toh mondok juga keinginan anaknya.

Lho.. kemarin yang minta mondok siapa?” Tanya ibunya kalem. Terdengar suara isak tangis Laila. Ibunya miris, air matanya mengalir tapi tidak ada yang tahu kalau dirinya juga sedang menangis. ”Jangan keburu-buru dalam memutuskan sesuatu, jalani dulu nanti kamu pasti betah, banyak temannya disana.” Dan Laila berusaha menuruti kata-kata ibunya.

Dari hari kehari, Laila merasa nyaman berada di pondok. Teman-temannya sangat baik apalagi Mbak Yani sangat memperhatikannya. Kebersamaan, kemandirian, serta kesabaran dapat dilatih dan diperolehnya lewat pondok.

 

Bu, Laila sudah betah.” Katanya saat menelfon lagi. Sang ibu tersenyum penuh syukur. Bagai menemukan oase ditengah padang pasir yang tandus. ”Semoga kamu berhasil nak. Belajarlah sungguh-sungguh.” Do’anya dalam hati..

 

Tombo Ngantuk


By: Zoom_@re

Matahari turun pelan-pelan dari peraduan, dia ingin beristirahat sejenak setelah memberikan terang, diserahkan tugasnya kepada sang rembulan untuk menerangi bumi dengan pantulan sinarnya. Bintang yang bertaburan tak ketinggalan menjadi penghias petala langit. Sungguh Allah telah mengatur semuanya dengan sangat indah.

Ba’da sholat maghrib kumasuki ruang yang nanti akan dipakai untuk mengaji kitab. Seperti biasa belum ada santri yang datang. Kutata bangku untuk ustadz Jalil dan kutaruh segelas air putih yang telah kupersiapkan dari kamar. Sesaat kemudian Pak Jalil datang, beliau kupersilakan masuk sementara itu kupanggil santri lain agar ikut mengaji. ”Mbak-mbak… pak Jalil Rawuh..” teriakku berulang-ulang dan diikuti koor santri lain yang mendengar teriakanku, agar santri yang merasa diajar oleh Pak Jalil datang.

Saat semua sudah berkumpul, ustadz Jalil mulai membuka dan mengkaji kitab At-tibyan Fi Adabi hamalatil Qur’an. Kami mendengar dan memaknai dengan arab Pegon yang ditulis miring. Sejenak kemudian kurasakan mataku sangat berat. Ngantuk sekali rasanya. Tekluk..tekluk, tanpa sadar kepalaku manggut-manggut. Vina yang duduk disebelahku menjawil pundakku. Mataku kubuka dan di pojok ruangan terlihat mbak Ema dan Yani sedang tersenyum-senyum memandangku. Aku merasa sangat malu apalagi setelah itu dalam penjelasannya, Ustadz Jalil menyindir masalah tidur. Sejenak aku bisa menguasai diri dan mendengar penjelasan Pak Jalil. Tanpa terasa mataku terpejam lagi, ”prakk…” kitab dan pulpenku jatuh, kali ini badanku panas dingin, semua tertawa termasuk Ustadz Jalil, aku hanya menunduk malu. “Mbak Nisa kok dari tadi ngantuk ya..” ustadz Jalil bertanya padaku. Aku hanya diam, teman-temanku masih geli dengan kejadian tadi.

Usai mengaji, kurasakan mataku tidak lagi berat, segar malahan. Teman-temanku memang sudah mengecapku sebagai cah ngantukan, tidak pandang tempat. Di bis, di depan kyai, saat sholat, ah.. apa yang terjadi denganku? Sebenarnya saat aku mengajak teman-teman untuk mengaji ada rasa tidak enak karena pasti nanti saat mengaji aku selalu ngantuk. Terlihat mbak Ema sedang berjalan melewatiku “dasar ngantukan,” ujarnya saat sampai di depanku. Seperti biasa aku diam tidak menanggapi omongannya. Aku sudah biasa mendengar ejekannya. Aku tidak tahu mengapa bisa seperti ini, ngantukan sekali, ibuku dulu ngidam apa ya?

Saat pulang ke rumah, dan ngobrol bersama ibu, beliau banyak menasehatiku tapi apa yang terjadi, aku kadang ngantuk saat mendengar nasehatnya. Ibuku juga heran tapi tak bisa berbuat apa-apa.

* * *

Senin pagi, di dalam bus aku bertemu dengan seorang pemuda, manis orangnya. Dia memperkenalkan diri. Aku sebenarnya tidak begitu menggubris tapi karena sepertinya dia orang baik-baik kutanggapi juga dia. Ternyata dia anak pesantren. Setelah perkenalan itu akhirnya dia sering menelfon dan mengirim SMS, setiap hari pulsaku berkurang hanya untuk dia. Aku sadar dengan kekeliruanku ini, tapi jari ini seakan tidak ingin berhenti memainkan huruf saat mendapat sms darinya. Aku sering melamun, ngantuk pun jarang karena ada yang dipikirkan.

Aku jadi tidak bisa konsentrasi, namun agak senang juga karena setiap mengaji menjadi jarang mengantuk. Teman-temanku heran apa yang bisa membuatku berubah. Kulihat mbak Ema tekluk-tekluk, gantian dia yang sering ngantukan. Itulah, mungkin kemakan omongannya. Semoga ngantuknya cepat hilang, doaku. Aku geli sendiri melihatnya, dan membayangkan saat diriku mengantuk. ”Ternyata aku seperti itu to kalau mengantuk.. wah memalukan memang, apalagi sampai menjatuhkan kitab. Setelah mengaji kuhapus semua SMS dari lelaki yang selalu membuat pikiranku terganggu. Jika seperti ini terus aku tidak akan maju. SMS darinya tidak pernah kubalas, telfonnya pun tak pernah kuangkat. Sebenarnya merasa bersalah juga tapi aku harus bisa mengendalikan diriku. Kubuang jauh-jauh rasa yang pernah mampir dihati ini. Aku ingin belajar sungguh-sungguh.

Malam selasa, seperti biasa aku dan teman-teman mengaji kitab bersama Ustadz Jalil. Kuperhatikan dan kusimak baik-baik. Bismillah semoga ilmuku bermanfaat, niatku dalam hati. Kubersihkan pikiranku darinya walau kadang masih sempat mampir, kalau jodoh ya nanti bersatu kalau tidak ya sudah pikirku.

Sampai akhir, aku tidak merasa ngantuk. Alhamdulillah.

Terimakasih wahai tombo ngantukku telah memberikan kesenangan walau sesaat.

Preman Santri

By : Zoom_@re

Hei… bangun-bangun..” bentak seseorang yang biasa dipanggil Kang Prem di pesantrennya oleh para santri karena dianggap preman. ”Hei.. ayo banguun Cepaat.. sholat.. sholat..” teriaknya dengan suara lantang. Mushola yang menjadi tempat tidur sebagian santri dan tadinya sepi menjadi ramai setelah Kang Prem datang. Walaupun begitu, Kang Prem merupakan pengurus yang disegani, santri-santri lain merasa sungkan dengan kang Prem tersebut karena dia bukan sembarang Preman mereka menyebutnya Preman alim. Kang Prem selalu menghabiskan waktunya untuk mengaji, biasanya 3 hari sekali dia bisa mengkhatamkan Al-Qur’an. Jadi tidak heran hafalannya sangat lancar dan bacaannya pun fasih karena dulu pernah nyantri selama 6 tahun di Ponpes yayasan Arwaniyah Kudus.

Nama aslinya Umar Al-Faruq. Di pondok, Kang Prem selalu membangunkan para santri. Saat sepertiga malam terakhir biasanya Kang Prem sudah menggedor-gedor pintu dengan keras, agar tambah mantap dia menggunakan bambu kecil. Dan selalu mengoprak-oprak saat ada kegiatan seperti bandongan maupun sorogan. Setelah bangun biasanya para santri langsung mangkel.

Kang Prem memang seperti Preman, 3 gelang hitam yang selalu melekat di pergelangan tangan kirinya, cincin berakik yang ia lingkarkan di jari tengah dan kuku di ibu jari yang panjang, sudah menjadi ciri khasnya. Rambut gondrong yang selalu terkucir rapi membuat kesan sebutan preman memang cocok untuknya. Terkadang Kang Prem suka meminta uang, mie Instan yang masih terbungkus, lalu sabun-sabun dan terkadang baju yang sudah tidak dipakai lagi oleh santri, walaupun tidak secara paksa.. Itu yang sangat tidak disuka dari Kang Prem oleh mereka. Teman akrab Kang Prem adalah Ashfal Maula, sifat mereka sangat berbeda karena Ashfal Maula yang biasa disapa Kang Apang sangat halus, berwibawa dan murah senyum kepada siapa saja. Saat membangunkan santri-santripun tidak dengan cara keras. Walaupun cara membangunkannya halus tapi mengena, dan santri juga biasanya langsung bangun jika dibangunkan.

Kang Prem adalah pengurus inti pondok, sedang Kang Apang adalah sie ibadah, mereka sangat kompak dalam menjalankan tugasnya.

Kang Apang..” panggil kang Prem halus saat sedang bersama-sama menyantap sarapan pagi.

Ada apa?” Tanya Kang Apang sambil tetap mengunyah krupuk terakhirnya.

Sepertinya para santri sudah sangat membenci aku ya..” ucap Kang Prem dengan nada sedih. ”Sebetulnya… aku tidak ingin berlaku keras terhadap mereka tapi inilah aku. Aku ingin mereka punya kesadaran, tidak dioprak-oprak terus tapi sampai sekarangpun sepertinya mereka susah untuk berubah.”

Kang Apang tersenyum melihat sahabatnya dan menyingkirkan piringnya yang sudah kosong. ”Sampeyan itu bicara apa to kang.. jujur saya lebih suka dengan sifat sampeyan yang tegas itu. Luarnya memang seperti preman tapi hati sampeyan baik. Maksud sampeyan membangunkan itukan juga untuk kebaikan mereka. Sudahlah tidak usah dipikirkan kalaupun mereka membenci sampeyan itu paling cuma sesaat setelah sampeyan ngoprak-oprak.” Kang Prem diam. Dia sepertinya sudah tidak mau membahasnya lagi walaupun dalam hatinya masih merasa kalau para santri tidak suka padanya.

Kala letih menanti

Kerelaan menuntut kita

tuk hadirkan kepuasan tersendiri

pengorbanan akan keinginan tuk bangkitkan sadar

mengoyak batin yang penuh dengan penat

masa depan yang diharap,

kan kita petik sebagai buah dari usaha

kemenangan yang diingini

itu karna imajinasi yang hanya slalu jadi ilusi

apa daya jika tak ada realisasi

dan mengapa semua itu terjadi?

Tanya pada diri sendiri

Hari yang cerah, embun pagi telah menyapa dengan sejuta kesejukan, tamparan sang surya memberi kecerahan pada jagad yang fana, makhluk kecil merentangkan sayapnya, mempersembahkan nyanyian riang, berharap sang penikmat ikut berdendang. Sementara itu didalam ruangan sempit yang ditempati sebagai kamar pengurus, Kang Prem sudah mengemasi barangnya untuk pergi meninggalkan pondok, tidak tahu pasti untuk jangka waktu sementara atau selamanya. Saat ditanya dia hanya diam. Tetapi tak ada satu barangpun yang ia tinggalkan.

Setelah berpamitan Kang Prem pergi, hatinya sedih tetapi sekaligus bebas karena tidak terbebani oleh tugas pondok.

Eh.. kang Prem pergi, boyong kayaknya.. wah kita bisa bebas. Aku paling nggak suka kalau dia yang bangunin, seenaknya aja, bikin kupingku panas.” salah seorang santri berkata dengan penuh semangat. Dan yang lain akhirnya menambah-nambahi semua yang telah kang Prem perbuat. Kang Apang hendak ke kamar mandi, dia mendengar pembicaraan itu lalu menghampiri gerombolan yang sedang membicarakan sahabatnya.

Sst..sst.. ada Kang Apang,” bisik salah seorang diantara mereka saat melihat Kang Apang yang berjalan ke arah mereka.

Ehem..ehem..” Kang apang berdehem, lalu ikut duduk bersama mereka. ”Sepertinya saya tadi mendengar kalian membicarakan kang Faruq ya..” Kang Apang diam sesaat lalu melanjutkan bicaranya. ”Kalian tahu apa yang telah kalian perbuat? Itu sama saja dengan memakan daging busuk saudaranya karena membicarakan orang lain.” Para santri yang ada di situ diam merasa bersalah dan tidak enak karena ketahuan telah membicarakan sahabat Kang Apang. ”Bukannya saya membela kang Faruq, tapi kalian tidak mengenal kang Faruq dengan baik.”

Ehm kenapa Kang Prem eh Kang Faruq suka meminta uang atau barang-barang dari kami?” Tanya salah seorang dari mereka, dan yang lain manggut-manggut membenarkan pertanyaanya.

Sebenarnya uang dan barang itu kang Prem berikan pada orang-orang tidak mampu. Apa kalian pernah melihat Kang Prem menikmati segala yang telah dia minta pada kalian?” Mereka geleng-geleng dan tambah merasa bersalah.

Seminggu, dua minggu berlalu mereka merasakan ada yang kurang. Tidak ada yang mengatur-ngatur dengan keras, tidak ada yang membangunkan dengan menggedor-gedor pintu. Kang Apang dan pengurus yang lain memang membangukan tapi beda dengan dulu sewaktu masih ada Kang Prem. Mereka sadar telah merasa kehilangan kang Prem.

* * *

Jama’ah sholat shubuh di Mushola dari hari ke hari semakin bertambah, tidak seperti biasanya. Saat sholat Tahajjud pun terkadang sebelum Kang Apang dan yang lain membangunkan sudah pada bangun.

Tiga bulan kemudian, dikeheningan sepertiga malam terakhir. Ada suara orang menggedor-gedor pintu dengan keras. ”Bangun-bangun.. ayo sholat Tahajjud.” Santri-santri reflek langsung bangun karena seperti mendengar suara Kang Prem. Kali ini mereka tersenyum dan menyalami kang Prem, ”wah datang kapan Kang?” Kang Prem ikut tersenyum tapi juga heran karena biasanya wajah mereka terlihat sangat kusut saat dibangunkan dan tidak secepat ini bangunnya.

tadi malam,” jawab Kang Prem singkat.

Semua santri sholat tahajjud, tidak ada yang absen. Orang yang mereka segani sudah datang.

Ternyata setelah pergi, kang Prem berhasil menumbuhkan kesadaran pada diri santri, mereka merasakan pengorbanan Kang Prem selama ini. Kang Prem merasa santri akan lebih baik jika dia tinggalkan.

Esoknya, kang Prem pergi lagi, kali ini tidak kembali.