Qiblat Cinta Maryam

Oleh: Zumaroh N. F
ACS

Pengantar penulis.

Subhanallah, wal hamdulillah…
Akhirnya novel perdana yang masih orok dan kuberi judul Qiblat Cinta Maryam ini selesai juga.
Novel ini kubuat mulai tanggal 2 Mei 2007 sampai 2 Juli 2007.
Jajaran kalimat yang kususun ini sungguh merupakan sebuah cerita yang mungkin tidak dapat memuaskan para pembaca. Tetapi anganku tuk terus melaju pada jalan sebuah keberhasilan mendorongku tuk slalu percaya bahwa kemajuan kan diperoleh dari kegagalan demi kegagalan bukan dari keberhasilan demi keberhasilan karena dengan suatu kegagalan itu kita telah belajar banyak tentang sebuah perjuangan.
Dari hati yang terdalam, indera pengucapku ini ingin sekali menghaturkan berjuta terimakasih kepada:
Ibunda, ayahanda, adinda dan keluarga tercinta. Kalianlah orang-orang yang slalu kucinta. Teman-teman santri yang slalu memberi dukungan kepadaku, mari terus berkarya. Dan yang tak akan pernah kulupa, rivalku dalam pembuatan novel ini, tanpa anda, aku tidak akan bisa menghasilkan novel orok ini.
Harapan yang sangat kuidamkan dalam memoar pikiranku adalah marilah kita tetap istiqomah, dalam satu Qiblat Cinta yang sama. Allah Yang Maha Esa.

Yogyakarta, 2 Juli 2007

Zoom_@rt

Siang hari ini, udara diluar begitu panas. Sang surya seakan tak kenal lelah untuk menjalankan titah Tuhan memberi penerangan di muka bumi. Angin menjadi tidak ada artinya karena tidak memberikan kesejukan lagi.
Kurasakan panas di dunia ini sudah begitu menyiksa, apalagi kalau di Padang Mahsyar nanti, matahari sangat dekat dengan manusia dan banyak juga diantara mereka yang tidak mengenakan pakaian, telanjang, tapi ada juga yang berpakaian saat bangkit nanti, tergantung amal perbuatannya. Kuselalu berharap agar termasuk golongan yang diberi pakaian itu. Amiin.
Di dalam kelas, sengaja aku tidak keluar lebih dahulu walaupun soal ujian telah selesai aku kerjakan, sekalian menunggu Icha sahabat baikku yang kelihatannya sedang kesulitan mengerjakan ujian.
Sekarang adalah hari terakhir Ujian akhir semester genap kelas 2 SMA mata pelajaran Tata Negara. Sebetulnya tidak tega juga melihat sahabatku itu kesulitan tapi apa boleh buat? Apa aku harus membantu mengerjakan? Berarti nggak jujur dong? Tidak ada dalam kamus hidupku bertindak curang seperti itu. Buat apa bayar mahal-mahal untuk sekolah tapi tidak belajar sungguh-sungguh. kubaca dan kucocokkan lagi soal dengan jawaban yang telah siap.
Karena bosan akhirnya aku keluar, dan ternyata selanjutnya ada juga yang berjalan dibelakangku menyusul keluar, mungkin dia tidak mau mengawali. Tiba-tiba kudengar seseorang berbicara, “Eh.. soalnya susah banget ya… stress aku,” kata Andi teman sekelasku yang keluar setelahku dan aku hanya tersenyum. Nggak juga batinku.
Sebenarnya di SMA Mandala ini aku adalah satu-satunya gadis keturunan Eropa. Ibuku adalah orang Inggris dan bisa sampai di Indonesia ini karena dulu ikut pertukaran pelajar, mungkin kalau tidak ada pertukaran pelajar ibuku tidak akan mengenal ayah dan aku tidak akan lahir. Tetapi Allah telah menjadikan setiap manusia berpasang-pasangan, cinta adalah anugerah tapi jodoh adalah misteri, siapa jodoh manusia hanya Allah yang tahu, semua telah tercatat dalam lembar Lauh Mahfudz, siapa menyangka ayahku yang orang biasa akhirnya dapat memiliki gadis Eropa yang cantik, pintar serta kaya. Tak pelak jika dulu banyak orang yang iri terhadap ayah, tetapi semuanya ayah terima dengan sabar. Ibuku Alicia juga malah merasa sangat beruntung mendapat ayah, karena menurut beliau ayah adalah orang yang penyabar dan pintar. Banyak teman gadis di sekolahnya dulu yang jatuh hati terhadap ayah. Bukan berarti ayah memilih yang lebih cantik dan kaya namun semata-mata karena ayah ingin berdakwah agar dapat mengislamkan istrinya.
Tetapi harapan tinggal harapan, sampai sekarang ayah belum berhasil mengajak ibuku untuk masuk Islam, walaupun ibu selalu mengingatkan kami jika datang waktu sholat dan membuatkan hidangan jika bulan Ramadhan datang, hidayah itu belum sampai kepada ibuku.
Seperti halnya paman Rosulullah yang selalu membantu perjuangan Nabi dalam agama Islam tetapi beliau meninggal dalam keadaan belum masuk Islam. Sungguh hidayah tidak datang pada setiap manusia, padahal rosulullah senantiasa memohon supaya Abu Thalib sang paman yang amat dicintainya dapat pintu hidayah untuk beriman dan memeluk islam namun apa mau dikata, hingga ajal menjemput sang paman tidak juga mengucapkan syahadat sebagai ikrar seorang muslim. Tetapi aku bertekad dan tidak akan putus asa, harus dapat mengislamkan ibuku. Walaupun tentunya kami tidak bisa memaksakannya. ”Katakanlah, hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Azzumar 39: 53)
Sebaliknya dengan aku, hidayah itu datang lebih awal. Saat di Inggris dulu, setelah aku dapat membaca, ayah dan ibu menghadirkan untukku buku-buku dari semua agama. Ayah dan ibu memberi kebebasan padaku untuk memilih agama dan membiarkanku memilih agama jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Setelah buku-buku itu kubaca dengan teliti akhirnya aku memutuskan untuk memilih agama Islam sebelum aku bertemu dengan seorang muslimpun kecuali ayah yang memang notabene pengetahuan agama islamnya kurang, untuk masalah umum kuakui ayah memang pandai.
Entah mengapa setelah membaca dan memahami buku-buku Islam itu hatiku mengatakan inilah agama kebenaran, yah.. Islam adalah agama kebenaran. Aku sangat cinta dengan agama ini dan berusaha mempelajari shalat, dan mengerti tentang hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat-kalimat bahasa Arab, dan berusaha menghafal surat. Dan waktu itu aku memutuskan mengganti namaku dari Mary Anne menjadi Siti Maryam. Kupilih nama itu karena nama Maryam tidak jauh beda dengan Mary, lagi pula Siti Maryam adalah seorang wanita yang sangat dimulyakan dan akan menjadi istri Nabi Muhammad kelak di surga nanti. Begitu beruntungnya beliau.
Kulangkahkan kakiku menuju taman yang tidak jauh dari kelas dimana aku mengerjakan soal ujian tadi untuk menunggu Icha dan duduk di kursi panjang yang berada tepat di depan pohon mawar. Bajuku sudah terlihat agak basah karena keringat, walaupun udara panas tapi saat berada di taman yang teduh dan penuh dengan tanaman-tanaman yang indah ini akhirnya panas sedikit-sedikit agak berkurang.
Di kelas-kelas lain sudah terlihat banyak murid yang selesai mengerjakan ujian. Wajah mereka terlihat kusut, mungkin jenuh setelah mengerjakan soal. Ada juga yang mengobrol dengan temannya sambil membuka buku catatan, sepertinya mencocokkan jawabannya benar atau tidak. Pandangan kualihkan didepan kelas berharap Icha segera keluar, namun yang keluar bukannya Icha melainkan Andre sang ketua kelas. Dia melambaikan tangannya kearahku dan kubalas lambaiannya.
“Nunggu siapa Mary…” teriaknya,
“Nunggu Icha, jawabku.
Teman-teman di sekolahku ini memang memanggilku dengan sebutan Mary, sebetulnya aku lebih suka dipanggil Maryam tapi karena Icha sahabatku yang tinggal tidak jauh dari rumahku memanggil dengan sebutan Mary dan itu ia dengar saat ibuku memanggilku jadi sampai sekarang panggilan itu masih melekat padaku, ibu lebih senang dengan panggilan itu karena sudah terbiasa.
“Dia masih di dalamkan?” Tanyaku kemudian
“Iya.. tapi kayaknya bentar lagi keluar kok, oya aku duluan ya..” pamitnya sambil mencangklongkan tas punggung, lalu melambaikan tangannya.
“Ya udah hati-hati..” ucapku sambil membalas lambaian Andre yang berjalan meninggalkan sekolah.
Setelah Andre pergi aku teringat sebuah buku yang tadi sengaja kubawa. Kubuka tas ransel kesayanganku dan kukeluarkan buku yang kubeli kemarin bersama Icha setelah pulang sekolah yang berjudul “Al-Qur’an, Taurat, Injil, dan Sains, Studi Kitab-kitab Suci Dalam Perspektif Sains Modern”, karya Prof. Maurice Bucaille seorang peneliti dari Perancis yang telah masuk Islam setelah meneliti, mempelajari dan menganalisa mumi Fir’aun.
Susah sekali mendapatkan buku ini karena pertama kali naik cetak langsung habis, sehingga aku harus memesannya agar tidak kehabisan lagi. Buku ini telah mengguncang Barat secara keseluruhan serta menggetarkan para ilmuwan mereka.
Keislaman ilmuwan ini berawal saat dia mencoba meneliti kematian Fir’aun disaat Ilmuwan yang lain mencurahkan perhatian untuk memugar dan memperbaiki mumi Fir’aun, Dan ternyata hasil akhirnya sangat mengejutkan…!
Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuhnya adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam, kemudian jasadnya segera dimumi untuk menyelamatkannya. Aku juga bingung bagaimana jasad ini lebih baik dari jasad-jasad lain padahal dia dikeluarkan dari laut itu. Prof. Maurice ini lalu menyiapkan laporan akhirnya yang diyakini sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat Fir’aun dari laut kemudian pemumiannya segera setelah tenggelam. Hingga salah seorang rekannya membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata: “ Jangan tergesa-gesa, karena sesungguhnya kaum muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini.” Akan tetapi dia mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus mengangapnya mustahil. Menurutnya pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang mutakhir dan akurat. Prof. Maurice lebih terperanjat lagi saat salah satu rekannya berkata bahwa Al-Qur’an yang mereka imanilah yang telah meriwayatkan kisah tentang tenggelam dan diselamatkannya mayat Fir’aun. Diapun mulai berfikir bagaimana mungkin, mumi ini tidak terungkap kecuali pada tahun 1898 M, yakni kurang lebih 200 tahun yang lalu, sementara itu Al-Qur’an mereka telah ada sebelum lebih dari 1400 tahun yang lalu?
Prof. Maurice mulai berfikir mendalam sambil memperhatikan Mumi Thagut itu karena sementara kitab-kitab suci mereka (ahli kitab) berbicara tentang penenggelaman Fir’aun di tengah pengejarannya utuk menangkap Musa tanpa membicarakan tentang mayat Fir’aun. Karena penasaran dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke negeri kaum muslimin untuk menemui sejumlah ilmwuan otopsi dari kaum muslim. Disinilah, perbincangan pertama kali yang dia lakukan bersama mereka adalah penemuannya tentang penyelamatan Firaun setelah tenggelam di laut. Maka berdirilah ilmuwan muslim sambil membukakan mushaf dan membacakan untuknya firman Allah yang artinya:
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami. (QS. Yunus: 92).
Ayat inilah yang membuat Prof. Maurice menyatakan keislamannya dan membuat dirinya bergetar dengan getaran yang membuatnya berdiri di hadapan orang-orang yang hadir seraya menyeru dengan lantang: “Sungguh aku masuk Islam dan aku beriman dengan Al-Qur’an ini.”Dia pun kembali ke Perancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah dulu dia pergi dengannya.
Aku merinding saat membaca kisah masuk Islamnya Prof. Maurice. Hidayah telah membuka pintu hatinya. Seandainya hidayah itu datang juga pada ibuku tentu aku akan merasa sangat bahagia di banding mendapat prestasi di sekolah ini.
Kurasakan seseorang menepuk bahuku, ”Eh Mary.. baca apa sih sampai nggak tahu aku sudah ada disebelah kamu,” ucapnya dengan nada agak kesal,
“Eh Icha.. maaf aku nggak tahu kalau kamu datang. Keenakan baca sih.. lagian kamu lama banget ngerjainnya.”
“Maaf juga deh.. habis soalnya susah banget, masak buat soal modelnya seperti itu, sudah disuruh menyebutkan, menjelaskan, disuruh memberi contoh pula dan lagi soalnya sepuluh biji bikin otak kriting aja. Untung sekarang ujian terakhir, aku mau refresing. Pulang yuk.. panas nih.” Ajaknya sambil mengibas-ngibaskan tangannya kewajah.
“Ehm… ke toko buku bentar yuk.. pintaku agak ragu.”
“Apa? Kemarinkan udah, emang mau cari buku apa lagi?” Tanyanya heran.
“Cuma mau lihat-lihat sih siapa tahu ada buku baru.”
“Kalau Cuma mau lihat-lihat aku nggak mau nganter pokoknya pulang sekarang, paling juga masih kayak kemarin emang buku di tokonya setiap hari berubah apa,”tolaknya. “Dasar kutu buku.”
“Ya udah deh..” ucapku singkat.
“Jangan marah lho Maryam.. maaf ya aku lagi gak mood nih kapan-kapan aja besokkan masih bisa..” ucap Icha merasa tidak enak karena menolak ajakanku.
“Iya-iya aku nggak marah kok..” Jawabku sambil tersenyum.
Icha adalah sahabat sekaligus tetanggaku walaupun tidak terlalu dekat jarak rumah kami tapi setidaknya arah jalan kami sama. Pulang sekolah kami sering bersama. Namun jika ada keperluan masing-masing mau tidak mau kami harus berpisah. Kami biasa naik bis, walaupun terkadang harus berdesak-desakkan dengan penumpang lain, mungkin ini bisa menjadi kenangan yang tak terlupakan jika sudah tua nanti.
Bis berhenti sampai pasar telo, Icha turun duluan dan melambaikan tangannya, sebagai tanda perpisahan, bis melaju lagi, aku bersiap turun, saat melewati pom bensin kuhentikan laju pak sopir.
”Kiri..pak,” teriakku. Kenek yang berdiri dipintu segera turun dan menyilakanku keluar.
”Hhff…” kuhela nafas panjang, akhirnya turun juga, lega sekali rasanya jika sudah keluar dari bis. Untung tadi dapat tempat duduk. Kali ini aku harus berjalan beberapa kilometer untuk dapat sampai rumah. Kuambil payung yang ada di dalam tas untuk melindungi wajah dan tubuhku dari sinar matahari, bukannya aku kecentilan tapi sinar matahari siang memang kurang baik untuk kulit, berbeda dengan sinar matahari pagi yang menyehatkan, aku hanya menjaga yang telah Allah anugerahkan kepadaku.
Sesampai dirumah seperti biasanya ibu telah menyiapkan makan siang untukku, aku sangat bersyukur karena Allah telah memberikan keluarga yang sangat baik, tidak lupa selalu kupanjatkan doa untuk mereka agar selalu diberi rahmat-Nya.
Sebenarnya orang tuaku menginginkanku agar ke sekolah menggunakan mobil yang telah ayah belikan karena jarak dari rumah ke sekolah agak jauh. Aku lebih memilih naik bis karena aku ingin benar-benar merasakan bagaimana usaha mencari ilmu. Harta di dunia ini hanya titipan. Dan biasanya mobil itu aku pakai jika ingin jalan-jalan atau ke toko buku, untuk kesekolah aku usahakan jangan sampai walaupun ada juga beberapa teman di sekolahku yang menggunakan mobil tapi aku tidak iri, aku tidak ingin dicap sebagai seorang yang riya’ atau berlebihan. Cukup kesederhanaan yang ada pada diriku telah membuatku nyaman walau memang jika aku mau semua telah tersedia di rumah.
Setelah menikah, ayah dan ibuku mengadakan perjanjian yakni ibuku ingin melahirkan di Inggris dan tinggal disana selama beberapa tahun setelah itu akan menetap di Indonesia. Ayah mengabulkan permintaan ibu sehingga akhirnya aku dilahirkan di Inggris. Sebenarnya aku sangat senang tinggal di sana tetapi komunitas muslim di lingkungan sekitar rumahku sangat minim jadi jika aku ingin belajar agama hanya bisa lewat membaca atau pergi ke majelis ilmu agama di London. Aku jadi teringat Prof. Maurice bagaimana beliau harus menghadapi berbagai masalah baru setelah keislamannya itu. Baik dari lingkungan maupun keluarganya, dan aku termasuk orang yang beruntung karena orang tuaku memberi kebebasan padaku dalam urusan ini.
Tapi kebebasan berarti tanggung jawab. Oleh karena itu, kebanyakan orang takut pada kebebasan, itu kata George Bernard Shaw (Liberty means resposibility. That is why most men dread it) Aku mungkin tidak begitu takjub dengan keislaman Prof. Maurice tetapi heran dengan orang yang telah tampak baginya kebenaran, serta bukti-bukti cahaya (Al-Qur’an) namun tetap berpegang teguh terhadap kebatilan dan berdiam dalam lorong sempit kegelapan.
Sesungguhnya mereka tidaklah berpegang dengan kebatilan kecuali karena kesombongan dan fanatik buta mereka terhadap keyakinan-keyakinan mereka, dan kebencian sesuatu yang menyelisihi agama mereka. Maka merekapun berbuat sia-sia dan menyia-nyiakan umat yang bodoh bersama mereka.
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-oramh yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Aku sendiri mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu bukti dari Hadits Nabi yang berkenaan dengan fitrah manusia:
Maa min mauluudin illa yuuladu ‘alal fithroh fa abawaahu yuhawwidaa nihi aw yunasshiraa nihi aw yumajjisaa nihi.
Aku ingat saat sedang membaca buku di majelis ilmu agama bersama pamanku dulu ada seorang wartawan yang memperhatikanku karena diantara pengunjung hanya akulah anak kecil disana, mungkin karena tertarik akhirnya saat sampai dirumah dia mewawancaraiku dan tentunya telah mencari tahu sebelumnya dimana alamatku dengan diam-diam mengikutiku pulang saat bersama pamanku. Awalnya dia hanya bertanya tentang minat baca tetapi akhirnya wartawan itu tahu tentang keislamanku yang aku pilih sendiri dengan membaca. Sebelum wartawan itu bertanya tentang hal ini aku memberikan beberapa pertanyaan kepadanya. Setelah lama kami bercakap-cakap dan bertanya mecam-macam, datanglah waktu shalat maghrib, lalu aku meminta kepada wartawan itu “Maukah kau beradzan?”
Dan dia menganggukkan kepalanya dan mengumandangkan adzan dengan meneteskan air mata.
Pertemuanku dengan wartawan itu tidak pernah aku lupakan, kata pamanku kisahku ini diterbitkan disebuah majalah, aku tidak terlalu memikirkannya.
Sekarang aku sudah kelas 2 di SMA Mandala, sekolah favorit di Yogyakarta.
Aku menerawang… teringat kepada pamanku Alexander dan temannya Samuel yang juga sudah kuanggap paman kandungku, aku kangen sekali. Biasanya lewat chatting atau mengirim email, aku selalu berhubungan dan menanyakan kabar di Inggris. Dan aku sangat gembira saat kedua pamanku itu telah menjadi muslim. Pamanku Alexander mengubah namanya menjadi Ali dan Samuel menjadi Ismail. Ternyata saat aku pergi, kedua pamanku ini mencari tahu tentang Islam dan sering mendatangi majelis yang pernah kami datangi. Dan akhirnya pintu hidayah pun datang kepada mereka setelah membaca banyak buku tentang islam dan membaca terjemah Al-Qur’an yang menurut mereka sangat luar biasa. Mereka telah menemukan Qiblat Cintanya.
Dalam email terakhir yang aku baca kedua pamanku itu mengatakan bahwa ”Mereka memprediksikan kalau Islam akan menguasai Eropa selama kurun waktu 30 tahun ini!” Terutama Inggris, Prancis dan Jerman. Ketiga negara ini dicalonkan dalam dasawarsa mendatang jumlah umat Islam akan meningkat drastis di sana. Dengan demikian Islam akan memiliki pengaruh yang signifikan di sana. Sekarang para petinggi di negara itu sedang melakukan studi mendalam tentang hal ini untuk menghindari adanya kerancuan dalam perundang-undangan mereka dibidang politik, ekonomi dan sosial selama paroh pertama abad ke 21 ini. Aku mengucap syukur dalam hati dan tak henti-hentinya bertasbih.
Memang, Islam tidak terbatas pada kalangan menengah kebawah dari masyarakat yang ada, karena ia bukan gerakan revolusi orang-orang bawah dalam melawan orang-orang kaya. Akan tetapi ini adalah murni gerakan dakwah kepada Allah dan hidayah Rabbaniyah yang merata terhadap orang kaya dan yang miskin.
Aku sangat terharu, banyak sekali fenomena-fenomena yang telah aku temui akhir-akhir ini dan telah mengetarkan jiwaku. Qiblat cintaku semakin mantap. Saat sholat dalam sujud terakhir selalu agak kuperpanjang untuk meminta-meminta dan meminta hanya kepada-Nya. Air mata yang meleleh dalam sujudku itu aku prioritaskan untuk ibu. Memang ibu keras dalam pendirian jika beliau belum mantap maka beliau tidak akan menjalaninya. Tapi tidak cukupkah bukti saat masih kecil aku memilih Islam? Awalnya ayah mengira setelah aku memutuskan untuk memilih agama Islam pintu hati ibu akan terbuka, tetapi entah kenapa sampai sekarang belum juga.
* * *
Esoknya setelah pulang sekolah dan berganti baju aku berniat pergi ke toko buku dan mencari buku baru. “Ujian sudah selesai tinggal menunggu raport, enaknya ngapain ya setelah itu…” pikir ku. Otakku kuputar sejenak, lalu sebuah gagasan muncul dalam pikiranku. “Oya aku punya ide dalam seminggu aku akan baca 7 buku. Good idea.. Moga-moga aja bisa Bismillah.” aku bersorak dalam hati.
”Berarti dalam sehari baca 1 buku. Oke deh… Start besok rabu pas tanggal 2 Mei, pas lahirnya Ki Hajar Dewantara lagipula segala sesuatu baik dimulai pada hari rabu.”
Setelah puas melihat-lihat dan membaca sedikit buku-buku, aku langsung menuju kasir untuk membayar. Di pintu masuk terlihat seorang lelaki masuk, aku langsung membuang muka setelah tahu siapa lelaki yang baru masuk itu dan pura-pura membaca buku. Dan sepertinya lelaki yang berada di pintu masuk itu seolah tak asing juga melihat perempuan yang ada dikasir pembayaran.
lelaki itu bernama Yusuf teman satu angkatanku di sekolah, nama lengkapnya Muhammad Yusuf, sesuai dengan namanya kuakui dia mempunyai wajah yang tampan sehingga tak heran jika Yusuf menjadi idola cewek seantero sekolah termasuk sahabatku sendiri Icha, selain itu penampilannya yang selalu rapi tapi funky dan otaknya yang encer membuatnya disayang guru-guru. Yusuf mudah bersosialisasi dengan siapa saja sampai-sampai kasir toko buku langganan Yusuf pun ngefans dengannya. Menurut mereka daripada ngefans artis-artis di TV dan nggak jelas mendingan ngefans sama yang sudah sering ketemu saja, lebih cakep malahan. Ada-ada saja mereka.
Aku sendiri kurang menyukai Yusuf karena menganggapnya adalah saingan sekaligus musuhku. Walaupun sekarang sudah tidak satu jurusan dengannya, tetapi aku masih tidak menerima kejadian sewaktu di kelas satu dulu.
Penjurusan di SMA Mandala ini dimulai pada kelas 2 dan aku memilih jurusan IPS sedangkan Yusuf di jurusan IPA. Dulu pada saat kelas satu semester awal aku mendapat peringkat satu paralel dan bisa dikatakan akulah yang paling pandai diantara siswa kelas satu. Tetapi menginjak semester dua kedudukanku itu digantikan oleh yusuf. aku kurang bisa menerima keputusan itu karena nilai rata-rata milik yusuf terpaut tiga poin dibawahku, memang sih cuma setelah koma tetapi itu sudah membuatku yakin kalau aku bisa mengalahkan Yusuf. Sengaja aku tidak protes kewali kelas. Dalam semester itu aku pernah alpha 3 kali karena sakit dan orang tuaku tidak ingat untuk membuatkan surat izin. Di SMA ini kehadiran mendapatkan nilai penting tersendiri. Jadi aku sudah bersyukur masih bisa menjadi terbaik ke 2 walaupun setelah Yusuf.
Tanpa menoleh kesana kemari dan menunduk aku langsung ngeloyor keluar, aku tidak ingin melihat wajah rivalku itu lagi.
Tiba-tiba, ”BRUKK…” tak sengaja aku menabrak tubuh seseorang sehingga buku yang dibawa oleh lelaki yang tak lain adalah Yusuf itu jatuh.
”I am sorry… eh maaf … aku gak sengaja. Kudongakkan wajah, “Dueeng… aduuh.. kog yang ku tabrak Yusuf sih,” batinku panik.
Aku mengambil buku yang telah kujatuhkan tadi dan membaca sekilas judul buku tersebut Ihya’ Ulumuddin. Aku heran cowok gaul seperti Yusuf kok bacaannya islami banget apalagi buku tersebut sepertinya berbahasa Arab bukan terjemahan. Aku langsung menyerahkan buku yang jatuh itu. Lalu ngeloyor pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun karena permintaan maaf tadi aku rasa sudah cukup. Kami menjadi pusat perhatian sebentar.
“Eh… tunggu… Maryam..” panggil yusuf, aku pura-pura tidak mendengar panggilannya, kupercepat langkah dan lari menuju mobil.
”Aneh… dia phobia sama aku kali ya…apa aku menakutkan? ah.. nggak tahulah.” batin yusuf bingung sambil memandangi sapu tangan Maryam yang tadi jatuh dan sekarang ada digenggamannya.
Tidak jauh dari tempat Yusuf berdiri 3 orang lelaki sedang bercakap-cakap,
”Eh kalau tidak salah nama cewek tadi Maryam lho… Cakep banget tuh cewek… padahal aku tadi mau menghampirinya setelah dari kasir, sayangnya dia malah lari… ”ucap lelaki yang paling tinggi dengan nada menyesal.
”Eh nanya aja sama cowok yang ditabrak tadi mungkin kenal, buktinya dia manggil namanya…” saran lelaki yang berambut kriting dan dikuncir kuda.
”Bener juga lo.. tumben otak lo jalan ha..ha..”
”Sialan lo, udah cepet sono tanyain susah nyari cewek model begituan di Indonesia, tajir lagi…”
Yusuf yang sudah merasa akan diinterogasi mulai pasang aksi, pura-pura memilih kitab yang ada di depannya. Dan lelaki yang tak diharap kedatangannya oleh Yusuf kini telah berada di belakangnya.
”Eh mas, lelaki yang tinggi tadi menepuk pundak Yusuf.”
”Ya.. ada apa?” Tanya yusuf.
”Kenal sama cewek tadi ya mas?”
”Yang mana ya…?” tanya Yusuf pura-pura tidak tahu.
”Ah.. yang nabrak masnya tadi, yang cakep..”
”Oooh itu.. maaf banget nggak kenal tuh..” cowok kurus di depan Yusuf mengerutkan kening.
”Lah tadi kok manggil namanya kalo nggak salah Maryam.. jangan bohong lho..” kata lelaki itu tidak percaya. ”
Yang tadi itu aku asal nyeplos aja.. habis cakep sih siapa tahu bisa PDKT eh malah lari” kata Yusuf seakan meyakinkan.
”Iya cakep ya.. beruntung lho ditabrak, kalo aku sudah tak kejar.. terus kalau mau tak maafin musti jalan dulu sama aku… yo wis makasih sory ganggu…” pamit nya lalu pergi meninggalkan Yusuf yang geleng-geleng kepala. Terlihat kekecewaan terlintas di wajah mereka saat tahu seseorang yang diharap kenal dengan gadis tadi ternyata tidak kenal. Tetapi setelah itu senyum-senyum lagi karena ada perempuan berpakaian sexi dan lumayan manis bertanya sesuatu kepada mereka.
”Untung tadi aku bohong… dasar mata keranjang. Bohong untuk kebaikan kan nggak apa-apa. Lagian aku juga nggak kenal-kenal amat sama Maryam.”

* * *
Setelah dari toko buku tadi niatku untuk membeli coklat sudah terlupakan dan sesampai dirumah, aku langsung menuju ke dapur mencari makanan karena belum sarapan tadi pagi. Kulihat ibu sedang sibuk dengan aktifitasnya memasak.
Hi Mom..what are you going to cook? Tanyaku dengan bahasa Inggris.
I am going to cook semur, jawab ibuku. Apa yang bisa aku Bantu? aku menawarkan bantuan.
“Please prepare the spices?”
“What are the spices?”
“The spices are chilly, garlic and globe onion.
Setelah matang, It has cooked mom, may I taste it? Silakan…ibuku mempersilakan. “Emmh…. delicious, masakan ibuku memang tidak ada bandingannya.

Setelah pulang sekolah aku bergegas menemui Icha dan hendak mengajaknya untuk main kerumah. Tapi sayangnya Icha menolak karena sudah janji dengan Deni dan Sandra untuk pergi ke mall merayakan selesainya ujian kemarin, refresing katanya. aku hanya tersenyum dan menyayangkan sikap teman-temanku yang suka menghabiskan waktu hanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Sebenarnya tadi mereka mengajakku tapi kutolak dengan halus.
”Belum tahu nilainya kok sudah refresing apa nggak berlebihan, mungkin kalau sudah tahu dan mendapat prestasi, baru syukuran, lah ini belum apa-apa kok sudah merayakan. Apa yang dirayakan?” Runtukku dalam hati. Padahal aku ingin mengajak Icha untuk mengikuti ide yang telah kususun kemarin, agar bisa lebih termotivasi. Sebenarnya nama lengkap Icha adalah Durrotun Nasicha tapi ia lebih senang dipanggil Icha lebih keren katanya.
Saat berjalan menuju tempat parkir, tiba-tiba Yusuf muncul di depanku. Aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu.
“Assalamu’alaikum…” sapa Yusuf kemudian.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku lirih.
“Maryam aku ingin bicara..” Yusuf memulai pembicaraan dan memandangku lekat tetapi setelah itu mengarahkan pandangannya ke tempat lain.
“Pentingkah?” Tanyaku singkat.
“Ehm, enggak sih, cuma mau ngembaliin ini,” Yusuf menyodorkan sapu tangan yang kemarin kubawa saat di toko buku. Aku kaget bagaimana mungkin sapu tanganku bisa berada di tangan Yusuf. “Ini.. punya kamu kan? Kemarin jatuh saat mengambilkan bukuku.”
Oh iya kemarin setelah dari toko buku sapu tanganku sudah nggak ada, batinku.
Aku menerima sapu tangan yang disodorkan Yusuf. “Terimakasih..” ucapku lirih.
“Oya pas tak panggil kok lari.. emangnya aku menakutkan ya?…” tanya Yusuf sambil tersenyum dan bergaya menata rambutnya yang masih rapi.
Aku geli juga melihat tingkah Yusuf yang lucu, ternyata dia suka guyon batinku.
“Apa perlu dijawab? Sepertinya tidak penting, anda tidak menakutkan kok, ganteng malah pantesan jadi idola di sekolah ini. Ehm.. masalah kemarin, aku mencari alasan yang tepat, aku ada keperluan penting jadi keburu waktu. Oya sekali lagi terimakasih sudah diambilin sapu tangannya, ehm.. maaf aku harus cepat pulang ada yang harus kulakukan.” Aku berusaha mengakhiri pembicaraan. Karena tidak enak banyak teman-teman sekolahku yang melihat kearah kami.
”Oh… maaf-maaf sudah mengganggu perjalanan anda, semoga selamat sampai tujuan dan dapat menjalankan segala aktifitas dengan lancar sesuai yang anda inginkan,” Yusuf berkata seperti seorang pengamen di Bis. Aku geli mendengarnya.
”Mari.. assalamu’alaikum..” pamitku, lalu aku segera pergi meninggalkan Yusuf yang masih tetap berdiri diposisinya.
”Wa’alaikumsalam..” jawab Yusuf lirih.
”Eh, kayaknya cocok juga tuh mereka berdua, daripada Yusuf atau Mary sama yang lain aku nggak rela, karena nggak ada yang cocok, kecuali.. kalo Mary sama aku… he..he..seorang lelaki kelas 3 IPA berkomentar setelah melihat 2 orang idola sekolah mengobrol.
Huuu.. dasar kamu maunya, kalo gitu aku yang sangat tidak rela kalo Mary sama kamu… pasti hidup Mary menderita takut punya keturunan mirip bapaknya. Udah item, kePD-an, gendut, pendek. Apa yang bisa dibanggain coba?” komentar temannya.
Tega banget fitnah aku kayak gitu, yah perbaikan keturunanlah ntar kalau aku jelek istriku jelek juga, anakku super jelek dong… nggak tega aku ngerawatnya. Mereka berdua saling bercanda.
* * *

Setelah shalat Asar, aku mempersiapkan buku-buku yang akan kubaca selama seminggu, wah kalau baca-bacanya cuma di rumah terus bisa boring nih, tapi.. nggak apa-apa lah, habis terima raport aku akan ke Malang. Aku tidak sabar ingin menjalankan semua agenda yang telah kususun dan kucatat di white boardku ini. Kota Malang… belum pergi kesana saja aku telah dapat membayangkan bagaimana hamparan bunga mawar yang indah. Icha pernah berwisata kesana sehingga saat bercerita membuat aku penasaran. Terlintas sejenak wajah Yusuf dalam pikiranku. Aduh kok muncul wajahnya ya.. tapi, Yusuf sepertinya baik kok. ah udahlah, nggak penting.” aku harus memikirkan studiku dulu, aku segera mengalihkan perhatianku pada buku-buku yang sudah kupersiapkan, lalu berwudhu dan membaca Al-Qur’an.
Bacaanku memang tidak begitu fasih, aku sadar dan sangat menyesalkan hal tersebut. Aku hanya belajar oleh ayah dan dulu pernah ikut mengaji di Masjid tetapi merasa tidak nyaman karena sering diganggu remaja-remaja yang ada di masjid itu. Malah ada yang nekat pernah mengutarakan isi hatinya. Setelah itu aku hanya mengaji dirumah diajari oleh ayah yang bacaannya belum begitu bagus.
Pernah juga aku privat mengaji oleh seorang ustadzah tapi, galaknya minta ampun, saat mengajar biasanya ustadzah tersebut membawa bambu kecil untuk mengingatkan jika ada yang salah, jadi aku sering dibuat senam jantung karena pukulannya ke meja yang kadang mengagetkanku. Untung nggak pernah mukulin badan, batinku saat itu. Setelah mengaji biasanya aku malah tidak ingin mengulang lagi yang telah diajarkan tadi karena sudah terlanjur dibuat jengkel. Ayah dan ibupun tidak tega melihatku saat diajar oleh ustadzah tersebut. Akhirnya aku tidak mau lagi mengaji pada ustadzah tersebut, dan tentunya ayah yang memberikan berbagai alasan agar ustadzah itu tidak tersinggung.
Tanggal 2 Mei, aku mulai menjalankan ideku, saat berada disekolah, karena sudah tidak ada pelajaran, aku membaca sampai puas, bukan hanya dikantin, dijalanpun mataku tidak ingin lepas dari buku, sampai-sampai nenek-nenek penjual gethuk mau kutabrak, untung saja si nenek tidak apa-apa. Sambil makan roti yang tadi kubeli dari kantin mataku masih tertuju ke buku tersebut. Biasanya tanpa ada ide inipun aku memang sering membaca tapi kali ini seakan-akan tidak ada satu kesempatanpun yang kulewatkan dengan sia-sia. Saat Icha dan teman-temanku yang lain mengajaku berkumpul, aku menolaknya dengan halus. Icha mengerti keinginanku dan memang sebelumnya sudah kuutarakan ideku ini agar Icha tidak salah persepsi karena sering menolak ajakannya.
Kelas terlihat sepi karena hanya ada Maryam. Diluar jendela, ada sepasang mata yang memperhatikan Maryam, tapi tidak lama karena dia tahu agama tidak memperbolehkan memandang dengan pandangan kedua.
Aku sangat menikmati kegiatanku ini, dan sekarang buku yang sedang kubaca berjudul ”Berani Bermimpi!” sebetulnya buku ini adalah untuk pembaca cilik, ah aku tidak peduli yang penting setelah membaca nanti aku bisa dapat menfaatnya. Buku karya Sandra McLeod Humpry yang mendapat izin kedutaan Amerika Serikat untuk diterjemahkan sehingga baru beredar di Indonesia itu membuatku penasaran, buku ini menampilkan 25 kisah orang-orang hebat dari berbagai kalangan. Para tokoh yang ada dalam buku ini sukses mewujudkan mimpi-mimpinya. Tentunya, kesuksesan tak dicapai mereka dengan mudah. Cibiran dari banyak orang kerap melukai hati mereka. Meski begitu, mereka tetap teguh menjalani hidupnya.
Tokoh-tokoh yang kisah hidupnya diangkat dalam berani bermimpi! ini berhasil melewati segala rintangan yang menghalangi jalannya menuju puncak karier. Mereka mampu mencari jalan keluar saat dihadapkan pada masalah. Albert Einstein, salah satunya. Ilmuwan yang lahir di Ulm, Jerman, pada 1879 ini sempat dianggap terbelakang lantaran terlambat belajar bicara. Sewaktu di sekolah dasar ia dijuluki anak canggung karena sifatnya yang pemalu. Di kelas Einstein terlalu banyak bertanya. Gara-gara itu, ia anak yang lambat mencerna pelajaran. Dugaan orang bertambah kuat menyusul kebiasaan Einstein yang suka melamun.
Sesungguhnya, Einstein Cuma anak yang penyendiri. Secara akademik, ia brilian dimata pelajaran matematika dan fisika. Untuk biologi, kimia, dan bahasa prancis, rapornya selalu merah. Einstein sepertinya tak begitu menyukai sekolah yang amat terorganisasi. Ia malas menghadiri kelas secara berkala dan ujian pada waktu tertentu. Bagi Einstein, melakukan penelitian secara mandiri justru lebih mengasyikkan. Dia masih bertingkah seperti ini saat sudah menjadi siswa di Institut Teknologi Federal Swiss. Lima tahun setelah kelulusannya –tepatnya tahun 1905, Einstein meletakkan kerangka dasar bagi zaman atom. Rumus energi sama dengan masa dikalikan dengan kecepatan cahaya kuadrat (E=mc2) mengguncang dunia sains. Teori relativitas yang diperkenalkannya lantas menjadi salah satu karya ilmiah paling penting sepanjang masa.
Hadiah nobel bidang fisika digamit Einstein pada 1916. lantas tahun 1952, Einstein menolak tawaran menjadi presiden negara baru Israel. Selalin mengisahkan Einstein, Berani Bermimpi! Juga memunculkan kisah hidup antara lain pebasket ternama, Michael Jordan; astronot, Ellen Ochoa; dan entertainer, Gloria Estefan. Membaca kisah ini aku bertambah motivasi untuk berani bermimpi dan gigih mencapai cita-citaku selama ini.
Kurebahkan tubuh di lantai sebelah ranjang kasur. Jam baru saja menunjukkan pukul 22.10, biasanya aku tidur tepat pada jam 00.00, dan bangun jam 03.00. Entah kenapa mataku kali ini sulit diajak kompromi, tapi Bukan Maryam namanya kalau tidak bisa berusaha menanggulanginya. Aku pergi berwudhu dan setelah itu, mulai merancang kegiatan apa yang akan kulakukan besok.
”Tok..tok..tok…” seseorang mengetuk pintu dari luar. ”Ya masuk saja,” dibalik pintu terlihat wajah cantik nan keibuan, senyumnya yang manis telah membuat ayahku yang disukai banyak wanita akhirnya luluh dan memilih ibuku. Beliau duduk disampingku dan mengelus kepalaku dengan kasih sayang.
”Dari tadi pagi, sepertinya kamu hanya membaca buku saja dan di dalam kamar, ujian sudah selesaikan?” Tanya ibuku.
”Iya, sudah selesai kok bu… tenang saja, Maryam sedang punya misi lho.. Ibuku mengerutkan kening,
”Misi apa maksud kamu?” Tanya beliau penasaran.
”He..he..he.. dalam seminggu ini Maryam pengen baca 7 buku. Tapi bukan buku sembarangan. Yah cari tantangan lah, habis bosen sih, pengen refresing.” Jawabku jujur. Ibuku tertawa,
”Yang benar saja masak refresing baca buku, apalagi bukunya tebal-tebal seperti itu,” ucap ibuku heran sambil menunjuk tumpukan buku di atas meja belajar yang akan kubaca dalam seminggu itu. Ibu Maryam tidak habis pikir dengan sifat anak tunggalnya ini.
”Kasihan mata kamu, tubuh kamu jugakan butuh istirahat. Pergi kemana kek, tempat yang indah. Ibu rencananya pengen mengajak kamu ke Malang tapi 2 minggu lagi. Mumpung ayah kamu ada waktu.
Mataku berbinar, ”Wah.. yang benar bu.. oh so sweet, thank you very much mom.” Kataku sambil memeluk ibu.
”Maryam juga sebenarnya punya rencana kesana lho.. kok ibu tahu Maryam pengen ke Malang? Tanyaku penasaran.
”Ibu lihat jadwal kamu di white board kemarin saat kamu ke sekolah, lalu ibu bicarakan dengan ayah, dan beliau setuju.”
Ah.. ibu selalu memang tahu keinginan anaknya. Batinku bangga dengan sikap ibu yang selalu perhatian.
”Ya sudah sekarang tidur saja, sekali-kali tidur awal kenapa? Tidur kok jam dua belas terus, apalagi setelah itu kamu bangun jam tiga kan?” Ibuku geleng-geleng kepala.
”Sebenarnya Maryam ingin seperti itu, tapi rasanya sayang sekali kalau harus menghabiskan waktu Maryam hanya untuk menuruti kepuasan semata, waktu sangat berharga dan nantinya pasti akan dipertanggungjawabkan besok di akherat, itu yang diajarkan dalam Islam.” Ibuku hanya diam. ”Oya ibu sudah tahukan tentang paman Alexander?” Tanyaku kemudian.
Ibu memandangku lekat, ”Ya ibu sudah tahu, dia dan Samuel masuk Islamkan?”
”Bagaimana pendapat ibu, Kapan ibu mengikuti jejak mereka?” Tanyaku memberanikan diri.
Ibu menatapku tajam, ”Keyakinan tidak diikuti dengan hanya ikut-ikutan orang lain. Dan ibu yakin dengan keyakinan ibu. Paman kamu ya paman kamu, ibu beda dengannya.
Mendengar ini hatiku sangat terpukul, ingin rasanya aku menangis sekencang-kencangnya, ya Allah berilah hidayah pada ibu. Berdosakah hamba dan ayah hamba karena belum dapat membawa ibu bersama kami untuk ke jalan-Mu.
Setelah mencium keningku, ibu keluar dari kamar dan aku langsung menumpahkan air mataku. Aku tahu perkataan ibu ada benarnya, Man is free, but not if he doesn’t believe it (Manusia adalah bebas, namun tidak akan bebas apabila ia tidak yakin akan hal itu), kata-kata Giacomo Girolamo Casanova De Seingalt yang pernah kubaca dalam buku the power of love itu terkadang membuatku tidak dapat menerima pendapatnya karena sesuatu yang terkadang memang seharusnya diyakini menjadi hal yang malah tidak bisa diterima.
Seperti biasa, di dalam kelas aku menyendiri,dan membaca buku kedua yang berjudul The Power of Al-Fatihah yang pada bulan februari lalu bukunya diluncurkan dan dibahas oleh cendekiawan muslim Prof Dr Ir HM Amin Aziz yang juga merupakan mantan wakil sekretaris MUI, di aula kampus Fakultas Teknik Industri (FTI) Unissula, Semarang. Buku setebal 700 halaman ini muncul karena kecenderungan 70% jama’ah yang mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat berjama’ah tidak menguasai keseluruhan arti dari surat Al-Fatihah. Padahal surat ini merupakan inti dari Al-Qur’an. Selain itu hampir 90% dari mereka juga tidak menguasai keseluruhan arti doa iftitah yang mereka bacakan di awal sholat. Belum lagi dengan kalimat-kalimat lain seperti anta al salam, ayat kursi, syahidallah, hasbunallah serta doa yang dibaca berulang-ulang saban hari oleh para imam salat maupun kaum muslimin. Dari fakta ini Amin menyebut wajar jika Allah swt belum mengangkat kaum muslimin Indonesia sebagai umat yang khaira ummah. Pasalnya mutu keagamaan kaum muslimin masih jauh dari yang seharusnya. Aku beruntung karena saat sholat sebisa mungkin aku harus paham dengan bacaan itu, aku selalu memahami arti bahasa arab yang telah kuketahui.
Menurut beliau, buruknya pemahaman bacaan sholat ini akan berdampak pada kualitas shalat wajib yang dilaksanakan. ”Akibatnya, shalat juga tidak akan mencapai tujuan untuk mencegah dari kejahatan (fakhsya) dan segala kemungkaran. Oleh karena permasalahan-permasalahan itulah buku ini tersusun dengan mengurai berbagai dimensi surat Al-Fatihah berdasarkan hadits-hadits Qudsi.
Aku berpikir sejenak dan membayangkan betapa berbeda pendidikan yang ada di Indonesia dengan Turki, disana terdapat pendidikan yang dikhususkan bagi Imam dan Khatib, mereka diberi peluang untuk memberikan pengajaran dalam dua tahap. Tahap pertama selama 3 tahun dan tahap kedua selama 4 tahun. Dalam sistem pendidikan sekuler, sekolah tersebut didirikan oleh Kementrian Pendidikan Nasional sebagai sekolah kejuruan, dengan tujuan untuk mendidik para siswa agar mampu menjadi pemimpin agama (imam) dan penceramah (khatib), sebagai tenaga pengajar Al-Qur’an, mufti, serta jabatan keagamaan yang serupa. Setelah tamat para lulusan itu diharap dapat menjadi pelayan keagamaan masyarakat bagi organisasi tingkat provinsi maupun pusat dari Direktorat Urusan Agama.
Masyarakat Turki tergolong taat beragama. Hal itu dapat dilihat dari kehadiran mereka di masjid pada hari jum’at atau hari raya. Bulan suci Ramadhan merupakan contoh baik bagi ukuran seberapa besar keyakinan agama mereka. Saat di Turki, aku pernah menginap selama 3 hari di hotel Sultan Hamid Palace, aku melihat bagaimana beragam upacara keagamaan dibuat, sekelompok masyarakat mempersiapkan kamar khusus di apartemen untuk ibadah shalat Ramadan selama Ramadan, kadang kala mereka mengundang imam tertentu untuk tujuan ini. Disamping itu, selama upacara perkawinan, Al-Qur’an amat berarti sebagai hadiah bagi mempelai perempuan, termasuk karpet khusus untuk shalat. Banyak Masjid didirikan di Turki. Tidak ada satu desapun di Anatolia yang tidak memiliki Masjid. Data statistik juga menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah jama’ah haji secara signifikan. Kota besar di Turki memberi contoh mengesankan bagi seni dan peradaban Islam-Turki.

* * *
Dalam seminggu itu, aku benar-benar tidak bisa diganggu gugat, sekarang adalah hari terakhirku merampungkan buku yang kujanjikan pada diri sendiri kali ini adalah berupa novel karya Habiburrahman El-Shirazi yang berjudul Ayat-Ayat cinta. Aku memang suka membaca novel, tetapi novel itu harus bermutu. Jika sekadar novel tentang percintaan remaja, aku malas membacanya.
Setelah membaca novel ini, aku merasa sedikit bangga karena apa yang kulakukan dilakukan juga oleh Aisha (pemeran wanita) dalam novel tersebut yaitu dalam hal memakai basahan saat mandi. Dulunya memang aku tidak biasa tapi sekarang Alhamdulillah sudah Istiqomah. Saat itu aku merasa bahwa aku bukan lagi seorang anak kecil. Entah kenapa walaupun sedang berada di kamar mandi, aku malu untuk telanjang, sehingga aku punya ide bagaimana kalau memakai basahan. Aku juga percaya bahwa makhluk ghaib itu ada, jadi di kamar mandipun, makhluk ghaib sejenis jin pasti ada di situ sehingga tidak menutup kemungkinan jin itu melihat kita. Maka dari itu setiap masuk kamar mandi aku selalu berusaha agar tidak lupa membaca doa sebelum masuk kamar mandi agar dijaga dari kejahatan jin lelaki dan jin perempuan. Rasa malu kepada Allah harus melebihi rasa malu kepada manusia, lagipula di zaman Nabi dahulu, ketika nabi tahu ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik mimbar dan menyuruh umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.
Esok adalah penerimaan raport, dan orang tua/ walinyalah yang wajib mengambilkan. Aku selalu menanamkan rasa optimis dan kali ini aku yakin akan menjadi yang terbaik, bukan berarti sombong, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Jika dari awal sudah pesimis seseorang akan sulit untuk maju. Aku sering bertanya maupun membenarkan pernyataan guru yang kuanggap tidak sesuai dengan buku-buku yang sudah kubaca. Sehingga guru yang akan mengajar di kelasku biasanya harus mempersiapkan benar materi-materi tidak hanya dari sebuah referensi, karena aku pasti akan bertanya hal-hal yang terkadang belum dimengertinya dari buku-buku lain yang telah kubaca. Tidak semua guru suka denganku karena ada yang beranggapan aku sok pintar, tetapi ada juga guru yang suka karena dengan begitu guru tersebut dapat termotifasi untuk menambah ilmunya bukan hanya pada sebuah buku tetapi dari berbagai sumber.
Seperti biasa, jika saat penerimaan raport suasana kelas agak tegang, kali ini wali muridlah yang berada di dalam kelas dan para murid menunggu di luar. aku ikut tegang juga, entah kenapa kali ini perasaanku tidak enak, tapi cepat-cepat perasaan itu kusingkirkan dan ikut bergabung dengan Icha, eko, Deni, dan Nur.
“Eh.. Mary, aku yakin pasti kamu deh yang terbaik,” kata Icha saat aku sudah bergabung.
“Ah.. kamu bisa aja Cha, seseorang itu pasti tidak selalu berada di atas, tapi kalau kamu bilang begitu amin deh..” semua tertawa.
”Rencana mau liburan kemana Mary?” Tanya Deni.
”Ada deh.. mau tahu aja…” jawabku asal.
”Wah, kalo Mary sih pasti baca buku aja di rumah, iyakan Mary? oya.. by the way kok nggak baca buku lagi, kemarin sampe nggak inget sama kita, Eko Menyindir.
”He..he.. ya maap kemarin-kemarin ada misi sih, so aku takut kalo misi ku kemarin nggak terealisir.”
”Emang misinya apa?” Tanya Nur.
”Setelah ujian kemarin, aku BT banget jadi pengen refresing, selama seminggu kemarin aku baca 7 buku, nah itulah misiku, cari yang beda gitu..” ucapku sambil mengangkat-angkat alis.
Dan teman-temanku hanya bengong, kok ada orang aneh seperti Mary.
”Bayangin aja masak baca buku selama seminggu dibilang refresing. Kamu aneh ya Mar”.
Buku apa aja yang udah kamu baca, jangan-jangan komik, kalo gitu sih aku juga bisa.. eko tidak mau kalah.
”Yee.. enak aja, aku paling nggak suka baca komik, nggak ada manfaatnya.” Jawabku.
”Eh, ibuku dah keluar, aku kesana dulu ya..” ucap Deni sambil beranjak meninggalkan kami.
”Mending nunggu di sana aja yuk,” ajakku, akhirnya semua menunggu di depan kelas.
Selang beberapa menit kemudian Ibuku akhirnya keluar, dan aku langsung meminta dan melihat hasil nilainya. Aku kaget karena hanya mendapat peringkat 3, memang sih masih masuk paralel, tetapi aku tidak habis pikir kenapa bisa seperti itu. siapa yang mendapat rangking 1 dan 2? kok bisa seperti ini? kenapa aku jadi yang ke-3.
”siapa yang menempati peringkat 1 dan 2 bu?” Tanyaku penasaran dengan mata berkaca-kaca.
”Sita sama Dina,” jawab ibuku dengan nada agak kecewa, ”sudahlah Mary, mungkin dengan begini kamu bisa lebih meningkatkan belajar kamu,” lanjut ibuku menenangkan.
”Siapa bu.. Sita sama Dina? Anak IPS 4 itu?” Tanyaku tidak percaya, lalu tanpa pikir panjang aku berlari meninggalkan ibuku untuk menuju ke kelas IPS 4 yang tidak jauh dari kelasku untuk menghampiri Sita dan Dina yang sedang berkumpul di depan kelas dan tersenyum bangga karena dapat mengalahkanku. Tanpa berkata-kata aku merebut raport kedua orang itu dan membawanya ke toilet untuk kucocokkan dengan nilaiku, aku tidak peduli dengan tanggapan orang-orang yang melihatku merebut raport mereka. Sita dan Dina berlari mengejarku, mereka menggedor-gedor pintu toilet yang kumasuki. Aku tidak habis pikir, mengapa Sita yang terkenal jago mencontek dan Dina yang biasanya cuma menempati posisi ke 3 ini malah dapat menggantikan posisiku.
Teman-teman Maryam yang melihat kejadian tadi tidak percaya Maryam bisa berbuat demikian, Yusuf yang sedang berjalan dan tidak sengaja melihat adegan tadipun sangat menyesalkannya. Ibu Maryam tidak bisa berbuat apa-apa karena tahu sifat Maryam yang tidak akan mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya persis dengan sifatnya.
”Bu.. Mary kenapa?” Tanya Icha yang tiba-tiba telah berada di dekat ibu Maryam.
”Ehm.. Mary mendapat peringkat 3 dan dia tidak menerima hal itu karena dianggapnya dia yang terbaik. Ibu tidak bisa melarangnya berbuat demikian karena nanti dia pasti akan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Setelah mencocokkan nilai itu aku langsung pergi menuju wali kelas yang sedang serius bercakap-cakap dengan kepala sekolah, dan di belakang bu Wurniati yang merupakan wali kelasku itu terlihat Sita dan Dina memandangku yang baru datang dengan tatapan geram. Itu dia pak orangnya, ucap Sita sambil menunjukku yang berada di depan pintu. Serempak yang ada di kantor melihat ke arahku. Nyaliku sempat ciut, tapi aku akan tetap teguh pendirian menuntaskan apa yang tidak sesuai dengan hatiku.
”Sebelumnya maaf pak kepala, jika kedatangan saya lancang, tapi jujur saya tidak menerima hasil ini pak. Jika memang ingin menjadikan saya pada peringkat ketiga seharusnya rekayasa yang ada diraportpun juga dilakukan. Saya sudah mencocokkan nilai kedua orang ini dengan nilai saya, dan hasilnya masih jauh dibanding nilai saya. Ucapku mengawali pembicaraan. Mungkin kalau ada seseorang yang dapat mengalahkan saya, saya bisa menerima jika memang dengan cara gentle, bukan dengan cara tidak jujur seperti ini.
Di belakang Maryam, satu persatu terlihat banyak murid yang datang dan melihat karena penasaran dengan apa yang telah terjadi. Guru-guru yang berusaha membubarkan tidak digubris karena jika ada yang sudah bubar datang lagi yang lain sehingga yang bubar tadi ikut bergabung kembali. Ibu Maryam terlihat duduk di depan kelas IPS yang merupakan kelas Maryam dan melihat dengan sorot tajam, ibu Maryam yakin apa yang dilakukan anaknya benar dan dapat mengatasi persoalannya, tidak mau ikut-ikut dulu. Sekiranya keadaan tidak memungkinkan baru ibu Maryam akan bertindak, sejak kecil ibu Maryam telah melatih agar anaknya dapat mengatasi persoalan sendiri dan tidak tergantung pada orang lain.
”Saya tahu bapak menjadikan Sita peringkat dua paralel karena dia keponakan bapak kan?”
”Kamu apa-apaan Mary”, ucap bu Wur kemudian.
”Mungkin teman-teman semua tidak tahu tapi saya tahu pak. Dan bu wur kenapa ibu tidak mengatakan yang sebenarnya? Ibu yang tahu saya, bagaimana saya di kelas, aku menahan emosi. Saya belajar bu, karena saya ingin selalu menjadi yang terbaik. Saya baca buku-buku lain untuk menambah referensi pelajaran di sini, kalau tidak percaya tanya saja sama ibu saya bagaimana saya belajar di rumah.
Bu Wur terlihat menunduk.
”Kalau di kelas ibu sering memberi nilai saya 9 walaupun jawaban saya benar semua, saya masih bisa diam bu. Tapi untuk sekarang maaf saya tidak bisa terima. Mataku terlihat berkaca-kaca. Saya tidak habis pikir dengan pendidikan yang ada di Indonesia ini. Tahu kenapa saya masih bertahan di sini? Karena saya suka masyarakat di Indonesia ramah-ramah, mayoritas muslim. Untuk masalah pendidikan saya akui di Eropa lebih unggul. Tapi semua itu tidak membuat saya ingin meninggalkan tanah yang sudah terlanjur saya cintai ini.” Tangisku pecah, Icha yang berada tidak jauh dariku mendekat dan memelukku erat. Murid-murid lain yang berada di belakangku terlihat banyak yang menitikan air mata. Dan berbisik-bisik entah apa itu, tapi yang jelas membelaku.
”Baik, kalau kamu memang merasa yang terbaik bapak akan mengubah perolehan nilai ini dengan satu syarat kamu harus bisa membuktikannya.” Bapak Wandi yang merupakan kepala sekolah di SMA Mandala angkat bicara. Aku mengusap air mataku.
”Apa yang harus saya lakukan pak?” Tanyaku penasaran.
”Asal kamu tahu Mary, Bu wur memberi kamu nilai 9 walaupun jawaban kamu benar semua karena beliau kurang percaya. Jawaban kamu selalu persis sama seperti yang ada dalam buku.”
”Maksud bapak saya mencontek begitu? Tanyaku tidak terima. Baik pak kita lihat saja nanti, saya akan membuktikannya. Tolong beritahu apa yang harus saya lakukan pak..” Kataku tidak sabar.
”Ehm… Bapak akan mengikutkan kamu pada olimpiade bidang biologi yang akan berlangsung di Baku, Azerbaijan. Dan ingat, Kamu harus menang, buktikan kalau kamu yang terbaik.” Aku kaget, teman-temanku pun tidak kalah kaget karena bagaimana mungkin murid jurusan IPS diikutkan dalam olimpiade biologi untuk jurusan IPA.
”Apa bapak tidak salah? Ingat pak saya jurusan IPS, mungkin kalau Yusuf yang berada di jurusan IPA dan selalu mendapat peringkat satu paralel itu bisa diikutkan.” aku berusaha mengingatkan.
”Jadi kamu menolak?” Pancing pak Wandi.
”Saya tidak bilang menolak, tapi saya hanya mengingatkan kalau saya jurusan IPS.”
”Tidak masalah bagi bapak walaupun kamu jurusan Bahasa sekalipun kamu akan bapak ikutkan, karena saya butuh bukti dan jangan khawatir Yusuf akan ikut.” Pak Wandi tetap pada kata-katanya.
Aku diam sejenak, ”Baiklah pak saya akan ikut dan membuktikan pada bapak dan semua teman yang ada disini.” Ucapku yakin.
”Satu lagi pak kepala sekolah, tadi bapak bilang bu Wur selalu memberi saya nilai 9 walaupun jawaban saya benar semua, secara otomatis statemen itu menunjukkan kalau saya telah berlaku curang saat ujian atau tes. Bapak seharusnya berkaca siapa sebenarnya yang tidak jujur, sebetulnya saya tidak ingin mengatakan ini di depan banyak murid yang ada di sini, tapi saya hanya ingin bapak beserta guru-guru yang lain sadar dengan apa yang telah dilakukan.”
Bapak wandi dan guru-guru yang juga ikut menonton kejadian ini mengerutkan kening.
”Memang apa yang telah kamu ketahui?” Tanya pak Wandi penasaran.
”Saya tahu ketidak jujuran dan kecurangan sekolah ini dalam pelaksanaan UN sekarang.” Pak Wandi dan guru-guru lain terlihat agak cemas. Para murid yang ada di sekeliling berbisik-bisik, tidak jelas apa itu, aku tidak peduli. Ibuku mendekat dan ikut berkumpul dengan yang lain. Andi yang kebetulan membawa Handycam ke sekolah, telah merekamnya dari tadi dan tidak melewatkan kesempatan kali ini.
Andi menghadapkan kamera ke wajah Maryam yang akan angkat bicara. ”
Saya tidak menyangka bapak sebagai seorang kepala sekolah yang juga bertugas sebagai pengawas/ supervisor malah merencanakan secara sistematis upaya untuk membantu anak kelas tiga lulus dengan segala cara yang telah melanggar hukum. Bapak tahu? Kecurangan ini bukan hanya membodohi siswa, tetapi juga mendidik mereka tidak jujur, dan itu artinya pendidikan yang telah diberikan di sekolah ini tidak ada artinya sama sekali.” Jelasku panjang lebar. Diam-diam Yusuf yang berada ditengah-tengah temannya yang lain, bangga dengan keberanian Maryam membongkar kecurangan di sekolah ini. Mungkin tidak berbeda dengan pikiran teman-temannya yang lain.
Pak Wandi dan guru-yang lain terlihat bingung. ”Kamu harus punya bukti dengan apa yang telah kamu sampaikan, ini fitnah,” tukas Pak Wandi tidak terima.
”Saya tidak pernah punya pikiran untuk memfitnah orang dan tidak akan pernah saya lakukan karena saya tahu agama. Kalau masalah bukti, saya bisa menunjukkannya. Cha.. Tolong panggilkan pak Ahyar,” pintaku tegas yang mungkin bisa didengar banyak orang di sini, secara otomatis bukan hanya Icha yang merasa terpanggil untuk mencari pak Ahyar guru matematika kelas tiga, pak Ahyar yang berada tidak jauh dari tempat kejadian langsung menampakkan diri. aku tersenyum penuh kemenangan karena melihat pak Ahyar yang terlihat sedang mendekat, aku tidak bisa menggambarkan bagaimana ekspresi Pak Wandi dan guru-guru yang lain.
”Ini pak Wandi bukti saya,” ucapku kemudian. ”Saya tahu semua ini dari pak Ahyar, dan jangan salahkan beliau karena telah memberitahukannya pada saya, karena saya yang telah memaksa beliau. Kunci jawaban yang berupa potongan kertas maupun melalui pesan layanan singkat (SMS) masih beliau simpan sebagai bukti. Pak Ahyar merupakan contoh guru yang jujur karena beliau menolak permintaan kepala sekolah untuk menjadi tim sukses yang bertugas membuat kunci jawaban. Teman-teman tahu apa yang dilakukan pihak sekolah selanjutnya? Guru Matematika ini dicap melanggar disiplin sekolah. Beliau tidak ingin membodohi peserta didiknya dengan membuat kunci jawaban terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung. Seperti patung yang tidak ada artinya, pihak sekolah bilang pada pak Ahyar kalau tidak setuju silakan, dosa saya yang menanggung. Maaf pak Ahyar kalau boleh kami tahu sudah berapa lama kecurangan ini dilakukan?”
Pak ahyar tidak langsung menjawab. Dan melihat kearah kepala sekolah yang memandang tajam pak Ahyar. ”
Tolonglah pak.. pintaku, ini demi kebaikan kita semua. Kalau bapak diam berarti setuju dengan kecurangan ini.” Semua yang ada disini memandang ke arah Pak Ahyar menunggu jawaban yang akan beliau berikan.
”Ehm.. su..sudah 3 tahun ini.” Kami semua terperangah, tidak menyangka bahwa sekolah yang katanya unggulan ini tidak lebih dari sekolah pembohong. Setelah tahu seperti ini apa yang masih bisa diunggulkan?
Yusuf maju satu langkah, ”Kenapa bapak tidak mengatakannya dari dulu?” Tanya Yusuf kemudian.
”Sebenarnya bukan sekolah ini saja yang telah melakukan kecurangan, di SMP 16, SMA Timbul Jaya, SMP 19, SMA Nasrani, SMK 5, SMK Samudra Indonesia, SMK Karya Kusuma, SMK Bina Satria, SMP 18, SMA Amir Hamzah, dan SMP Marisi juga melakukan hal yang sama.” Kami semua terperangah karena hampir semua sekolah telah melakukan ketidak jujuran.
”Tapi bagaimana kecurangan ini bisa tersusun rapi pak dan tidak diketahui dinas Pendidikan?” Tanyaku.
”Sebenarnya Kantor Dinas Pendidikan mengetahuinya, dan memang para kepala sekolah dengan sengaja bekerja sama dengan pihak kantor Dinas Pendidikan dalam praktik kecurangan ini.” Para wali murid yang melihat kejadian ini tidak bisa membendung air mata karena ternyata kepercayaan yang telah diberikan kepada sekolah untuk mendidik anak mereka malah disalah gunakan. Suasana hening, aku tidak tahu bagaimana sekarang perasaan orang-orang di sini setelah mengetahui kebenaran tersembunyi yang telah tampak ini.suasana sejenak hening.
”Sa..saya minta maaf, benar-benar minta maaf,” ucap Pak Wandi menyesal memecah keheningan, air matanya mengalir deras. ”Saya khilaf, Ya Allah maafkan hamba..” penonton yang ada di situ terharu semua, pundak Pak Wandi bergetar seperti menanggung beban yang amat berat. ”Sebenarnya saya melakukan ini semua untuk menghilangkan citra jelek dunia pendidikan Nasional. Nilai yang harus dicapai siswa untuk bisa lulus sekarang lebih berat dibandingkan tahun-tahun kemarin. Sehingga banyak kepala sekolah yang mengkhawatirkan jika anak didiknya banyak yang tidak lulus termasuk aku. Aku memang bodoh, tidak seharusnya aku bertindak seperti ini. Dan maaf, sepertinya saya sudah tidak pantas mengemban amanat sebagai seorang kepala sekolah, jadi saya ingin mengundurkan diri dari jabatan ini.”
Kami semua kaget dengan pernyataan Pak Wandi yang sudah mau jujur dan menyesali perbuatannya itu apalagi beliau menyatakan mau melepaskan jabatan sebagai kepala sekolah yang sudah dijabatnya selama kurang lebih 10 tahun itu.
”Saya harap semua yang ada di sini tidak memberitakan kejadian ini pada media massa, mungkin kita semua bisa sadar dan mengambil hikmah atas semua kejadian ini. Kita harus berubah, dan berusaha menjadikan sekolah kita ini benar-benar sekolah unggulan, mungkin salah satu usahanya yaitu dengan ikut lomba olimpiade biologi tersebut dan saya harap Maryam tetap dapat mengikuti lomba tersebut dan menunjukkan bahwa dia yang terbaik,” ucap Pak Ahyar yang kemudian diiringi tepuk tangan para penonton.
”Baik pak, saya dan Yusuf akan berusaha semaksimal mungkin.”
Setelah kejadian itu semua murid dan wali murid pulang kerumah masing-masing, tidak ada yang memprotes pengunduran diri Pak Wandi karena mereka menganggap Pak Wandi pantas mendapat sedikit pelajaran.
* * *

Hari ini merupakan hari yang sangat melelahkan bagiku. Setelah sampai di rumah aku langsung merebahkan tubuh di dalam kamar sambil menghidupkan murottal Syeikh Sa’ad Al-Ghomidhi. Hatiku begitu tentram, ingin rasanya aku dapat menjadi seorang penghafal Al-Qur’an, tapi aku masih merasa takut karena bacaanku belum begitu fashih dan lancar. Aku berjanji jika lulus SMA nanti ingin sekali mewujudkan impianku. Walaupun banyak rintangan tidak mengapa karena kita harus berani bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi itu, janjiku dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.15 tiba-tiba ”Tit..tiiit..tiit..” ponselku berdering, entah sudah berapa banyak pesan yang masuk sebagai ungkapan kagum dan lain sebagainya. Terkadang aku tidak mengenal siapa pengirimnya. ”Siapa ya.. malam-malam begini masih sempat kirim pesan.”

Ass, Afwan mengganggu mlm-mlm, Maryam gmn dengan lomba yg akan qt ikuti? smoga qt bs kompak dan dpt bkrj sama dgn baik. Aku yakin Allah akan memberi jln yg mdh dan lapang bg qt dlm mnjlni ini smua. Wass. from: Yusuf.
Setelah membaca SMS yang ternyata dari Yusuf entah kenapa hatiku berdesir, berbeda dengan pesan yang masuk sebelumnya. aku berpikir sejenak lalu mengetik balasan untuk Yusuf.

Terimakasih, mgkn nantinya aku hanya bisa membantu sdkit karna jurusanku tidak disini. Aku akan berusaha semaksimal mgkin utk memajukan sekolah qt. Oya kpn qt luangkan waktu untuk bahas lomba ini secara rinci?
Sejenak kemudian ponselku berdering lagi balasan datang.

Lomba qt msh agak lama tp saat bertemu utk membhs nanti qt hrs punya gmbran msg-msg apa yg akan qt uji cobakan, aq yakin Maryam bs. Utk waktu akan aq konfirmasi lg.
Aku mengetik balasan

Trmksh atas motivasinya, smga Allah memberi kemdhan bg qt. Amin. Slmt malam.
Setelah itu ku non aktifkan ponselku, karena aku ingin membaca Al-Qur’an sebentar sebelum tidur dan shalat witir tanpa gangguan.
* * *

”Wah ibu beruntung punya anak seperti Mary.. puji Ibuku saat kami sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan, kemarin anakku jadi pahlawan kesiangan lho yah.. .” lanjutnya.
”Ah… ibu bisa aja semua ini ibu yang telah mengajarkan pada saya bagaimana dapat mengatasi masalah tanpa bergantung pada orang lain.”
”Bagus-bagus,” kata ayah sambil manggut-manggut, ”ayah juga percaya kalau anak ayah ini memang pintar, walaupun kadang dengan kepintarannya membuat orang lain malu.” Aku merasa tersindir dengan kata-kata ayah.
”Ayah.. ibu.. apa yang kemarin saya lakukan salah?…” tanyaku lirih sambil mengingat-ingat kejadian kemarin. Roti yang sudah aku olesi coklat dan siap aku makan membuat seleraku hilang. ”Sebenarnya saya tidak bermaksud mempermalukan pak Wandi dan guru-guru yang lain, tetapi kemarin reflek kata-kata terus meluncur dari mulutku. Lagipula saya hanya ingin mengungkap kebenaran yang tersembunyi.”
Ayah tersenyum, ”Ehm.. menurut ayah, sebenarnya yang kamu lakukan ada baiknya dan juga buruknya. Baiknya ya, kamu bisa mengungkap kebenaran itu sehingga setelah semua terungkap diharapkan kesalahan tidak akan terulang untuk kedua kalinya karena kita memang terkadang harus belajar dari kegagalan. Bapak pernah membaca bukunya almarhum Zainal Arifin Thoha yang berjudul Aku menulis maka aku ada, bahwasannya ” Kemajuan diperoleh bukan dari keberhasilan demi keberhasilan tetapi dari kegagalan demi kegagalan.” Aku mendengar dengan seksama, kulihat ibu manggut-manggut terkesan dengan kata-kata suaminya.
”Dan buruknya, kamu telah mempermalukan kepala sekolahmu yang mungkin melakukan ini semua karena tidak ingin anak didiknya ada yang tidak lulus. Beliau mungkin juga ingin menjaga nama baik sekolahnya.”
Setelah mendengar penjelasan dari ayah, aku semakin gusar, perasaan bersalah menghantuiku, aku merasa telah mendholimi orang lain. Aku ingin cepat-cepat berangkat ke sekolah untuk menemui pak Ahyar dan meminta pendapat beliau apa yang harus aku lakukan. Biasanya saat liburanpun beliau tetap stand by sampai pukul 10.00.
”Ayah.. ibu.. saya berangkat dulu ya..” pamitku sambil menggamit tangan ibu dan ayahku cepat-cepat untuk menyalami mereka.
”Lho kok tidak sarapan dulu, nanti sakit kamu” ucap ibu sambil mengambilkan roti yang ada dipiringku.
”Nggak lapar bu, nanti saja jajan di luar,” ucapku sambil berjalan cepat meninggalkan ibu dan ayah yang memperhatikan ketergesaanku. ”Assalamu’alaikum, Maryam berangkat dulu ya…” salamku sambil cepat-cepat meninggalkan kedua orang yang sangat aku cintai itu.
”Wa’alaikumsalam..” ayah dan ibu menjawab hampir bersamaan. Kuhentikan langkahku, karena merasa janggal mendengar ibuku menjawab salamku tadi. Aku menoleh kebelakang dan kulihat ayah juga sedang memperhatikan ibu, sedang yang diperhatikan merasa salah tingkah.
”Ehm… tadi tidak sadar.” Ibuku berkata sambil berdiri dan membereskan makanan di meja. Kuteruskan langkahku. Dalam hati aku merasa agak bahagia semoga ini awal yang menggembirakan. Batinku penuh harap.
Sesampai di sekolah, aku langsung menuju ke ruang guru. Dan berharap pak Ahyar ada di mejanya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
”Maryam..” panggil seseorang dengan suara yang tak asing di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum kearah asal suara tersebut. Orang yang aku cari sudah ada. Batinku senang.
”Saya ingin bicara dengan bapak..” kataku kemudian.
”Iya bapak tahu kamu pasti akan kesini, bapak juga ingin bicara sama kamu. Ayo silakan duduk di dalam. Tadi juga Yusuf saya suruh datang ke sini, mungkin sebentar lagi sampai.”
Hatiku berdesir saat pak Ahyar memberitahukan kedatangan Yusuf, aku mengerutkan kening.
”Kok disuruh kesini pak.. ada masalah apa?” Tanyaku penasaran.
”Bapak ingin membicarakan perlombaan yang akan kalian ikuti. Sebenarnya yang harus mengurusi ini semua Pak Wandi, namun beliau menyerahkan tugas ini sementara kepada bapak, katanya beliau sudah tidak pantas lagi. Awalnya bapak menolak, tapi beliau terus memohon. Akhirnya bapak menyanggupi tetapi hanya untuk sementara waktu saja. Oya, apa yang ingin kamu bicarakan Maryam?” Tanya Pak Ahyar kemudian.
Aku diam sejenak, rasa bersalah kembali menyelimuti pikiranku. ”Begini pak.. ehm.. saya.. saya.. merasa bersalah atas kejadian kemarin. Tidak seharusnya saya berbuat seperti itu, mempermalukan Pak kepala sekolah dan para guru yang lain. Saya benar-benar menyesal pak. Sekarang saya bingung apa yang harus saya perbuat.” tak terasa mataku mulai berkaca-kaca.
Pak Ahyar menghela nafas panjang. ”Sebenarnya… bapak juga bingung Maryam. Menurut bapak seumpama kamu kemarin tidak membongkar kecurangan pada sekolah kita maka kecurangan itu akan tetap berlanjut terus. Walaupun mungkin sekarang sekolah kita mempunyai citra jelek dihadapan para wali murid. Tetapi kebenaran lambat laun akan terungkap. Dan bapak berharap sekarang, sekolah kita dapat mengembalikan citra baik itu dengan kamu dan Yusuf membuktikan bahwa sekolah kita bisa berhasil tanpa melakukan kecurangan.”
”Tapi bagaimana bapak yakin kalau saya dan Yusuf berhasil dalam lomba ini?”
”Tidak tahu juga, kata hati bapak mengatakan demikian. Kalian pasti berhasil. Kita harus selalu optimis. Dan sebaiknya kamu secepatnya pergi ke rumah Pak Wandi untuk meminta maaf. Kemarin setelah semua pulang, bapak mengumpulkan semua guru termasuk Pak Wandi untuk evaluasi ini semua. Dan guru yang tidak ikut-ikutan dalam kecuranganpun telah sepakat kalau kita masih memberi kesempatan sekali lagi kepada Pak Wandi dan guru lain yang terlibat agar tidak mengulang kesalahan ini lagi. Saya lihat Pak Wandi merasa sangat menyesal. Insyaallah beliau tidak akan mengulang kesalahan ini.”
”Saya memang bermaksud untuk pergi kesana pak, tapi belum tahu rumah beliau.”
”Ya sudah nanti setelah kita bertiga membicarakan lomba ini, kita bersama-sama ke rumah Pak Wandi bagaimana?” Pak Ahyar menawarkan.
”Tapi pak.. nanti malah merepotkan bapak. Saya naik bis saja biar alamatnya saya catat.” Tolakku halus.
”Oh.. tidak apa-apa, nanti kamu naik mobil saya saja. Tidak akan saya apa-apakan kok..” kata beliau sambil tersenyum. Bapak juga ingin menanyakan sesuatu pada pak Wandi.
”Assalamu’alaikum..” terdengar seseorang mengucap salam. Aku dan pak Ahyar spontan menoleh dan sudah bisa menduga kalau yang datang pasti Yusuf. Pak Ahyar menyilakan Yusuf masuk, dia menggeser kursi di sebelahku agak jauh dan duduk.
”Hallo Maryam..” sapanya. Aku menoleh kearahnya mata kami bertatapan sejenak. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan.
”Hallo juga..” jawabku dengan perasaan hati yang tidak karuan.
Pak Ahyar melihat tingkah kedua muridnya ini sambil mesam-mesem. Dan tahu sepertinya ada gelagat tidak beres.
”Ehem..ehem..” pak Ahyar berdehem. Aku dan Yusuf agak kaget dan merasa malu. Yusuf terlihat tersenyum penuh makna. ”Begini ya.. bapak ingin membicarakan tentang perlombaan bukan yang macam-macam. Jadi kalian harus konsentrasi pada perlombaan ini agar berhasil. Oke..”
Kami manggut-manggut. Lalu Pak Ahyar menerangkan apa yang harus kami lakukan dalam perlombaan ini, serta jangka waktu yang telah ditentukan. Beliau memberi kertas yang berisi kriteria, syarat-syarat dalam perlombaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perlombaan, setelah dirasa cukup, kami menuju ke rumah Pak Wandi. Sebelumnya Pak Ahyar mengajak mampir di warung makan yang menyediakan tempe penyet, ayam penyet, lele penyet dan menu lain yang dipenyet-penyet. Pantas warung ini namanya ”warung penyet delicious”, aku geli dengan nama warung ini, tapi ya terserah yang punya, aku tidak punya hak, toh itu juga nggak penting untukku. Mau dinamai warung pak penyet juga terserah mereka, atau kafe penyet food, wah pikiranku sampai kemana-mana.
”Kamu pesan apa Maryam?” Tanya pak ahyar membuyarkan nama warung karanganku.
”Tempe penyet saja pak,” jawabku.
”Yang benar, jangan malu-malu, ayam bakarnya enak lho..” Pak Ahyar memberi pilihan lain.
”Enggak pak saya suka tempenya,” sahutku mantap. Aku memang suka tempe, bukannya malu ingin pesan yang lebih enak, tetapi makanan yang terbuat dari kedelai ini mengandung sumber protein yang lain karena makanan tersebut menyediakan asam amino, sejenis nutrisi seperti vitamin B dan asam lemak omega 3 yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Beberapa studi menghasilkan berbagai kesimpulan tentang keuntungan mengonsumsi protein kedelai yaitu bisa membantu penyakit seperti kanker. American Dietic Association (ADA) dan Food and Drug Administration (FAD) setuju diet yang menyertakan 25-50 gram protein kedelai dapat menurunkan kandungan kolesterol berbahaya (LDL) dalam tubuh. Kolesterol LDL yang lebih dikenal dengan kolesterol jahat adalah tipe kolesterol yang dapat menyumbat aliran darah dan meningkatkan resiko terkena penyakit jantung.
”Kamu pesan apa Yusuf?” Giliran Pak Ahyar menawarkan pada Yusuf.
”Saya lele penyetnya saja, jawab Yusuf. Sang penjual langsung mencatat pesanan kami sedang pak Ahyar sendiri memesan ayam bakarnya. Setelah hidangan siap kami makan bersama dan mengobrol sedikit. Pak Ahyar melihat kesamaan kebiasaan cara makanku dan Yusuf yang menggunakan tiga jari. Beliau heran kok bisa seperti itu. Wah kalian memang cocok.. Kata Pak Ahyar setelah melihat kesamaan kami. Aku dan Yusuf hanya diam sibuk dengan perasaan masing-masing. Aku juga tidak menyangka kami punya satu kesamaan. Aku beristighfar berkali-kali
Setelah makan kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Wandi. Yusuf duduk di depan bersama Pak Ahyar dan aku di belakang. Dalam perjalanan Pak Ahyar menjelaskan lagi hal-hal yang berhubungan dengan perlombaan.
Sesampai di rumah Pak Wandi, rasa bersalah mulai menyergapku. Tapi aku akan segera meminta maaf agar segera selesai permasalahannya. Rumah Pak Wandi sangat sederhana dan terkesan teduh. Halaman rumahnya yang sempit dimanfaatkan sebagian untuk tanaman hias. Pak Wandi terlihat kaget dengan kedatangan kami, aku tersenyum saat beliau melihatku, dan beliau terlihat agak kaku dan tersenyum agak dipaksakan. Aku jadi tidak enak sendiri. Beberapa saat kemudian istrinya keluar membawa minum dan makanan kecil yang di tempatkan pada toples dan ikut berbincang sebentar tetapi masuk kembali kedalam. Aku lalu mengutarakan maksudku untuk meminta maaf dan mengatakan semua yang mengganjal dihatiku. Beliau malah balik meminta maaf kepadaku karena telah memberikan hasil peringkatku pada orang lain. Dan berjanji akan menggantinya setelah aku mengikuti perlombaan di Azerbaijan. Beliau menjelaskan lebih rinci apa yang harus aku dan Yusuf lakukan, dua minggu lagi aku harus kembali kesekolah untuk mulai melakukan percobaan. Jadi dari sekarang aku harus mulai memikirkan percobaan apa yang akan kami lakukan. Aku masih sempat menolak dan menawarkan murid lain yang juga berprestasi karena mungkin siswa yang ada di jurusan IPA lebih berhak dan berkompeten dalam mengikuti lomba ini daripada aku, tetapi beliau dan Pak Ahyar tetap mempertahankanku.
Nilai IPA ku di kelas satu dulu juga tidak kalah dengan Yusuf katanya. Aku pasrah dan memohon yang terbaik pada Allah dan akan berusaha semaksimal mungkin. Setelah itu kami pulang, tidak kusangka Pak Ahyar mau mengantarku sampai rumah, aku turun duluan dan sempat menyilakan Pak Ahyar dan Yusuf untuk mampir. Tapi mereka menolak karena hari sudah sore.
Oh itu rumah Maryam bagus banget, tapi kok kalau ke sekolah mau naik bis ya.. batin Yusuf heran dan kagum saat melihat rumah Maryam.

* * *
Tadi malam aku dan ibu telah mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk pergi ke Malang. Sebenarnya aku capek sekali tetapi karena perjalanan kali ini aku bersama ayah dan ibu rasa capek itu tidak aku rasakan, jarang sekali ayah punya waktu untuk dapat pergi bersama seperti ini. Biasanya aku pergi sendiri, aku suka berpetualang dan menikmati alam. Hal itu membuatku semakin kagum akan ciptaan Sang Penguasa. Sekarang ibu sedang mengecek lagi keperluan yang akan kami bawa agar tidak ada yang tertinggal.
Dalam perjalanan, otakku terus berputar, memikirkan proyek apa yang akan aku uji cobakan dalam perlombaan di Azerbaijan yang akan dibuka secara langsung oleh Presiden Azerbaijan (Ilhan Aliyev). Lewat kaca spion ibu Maryam melihat sikap anaknya yang sepertinya kurang menikmati perjalanan kali ini. Sedang ayah Maryam sibuk dengan aktifitasnya menyetir. Supir yang biasanya mengantar ayah ke kantor diliburkan untuk sementara, karena ayah ingin memberikan waktu untuk keluarganya.
”Ada apa Mary?” Tanya ibuku sambil menoleh ke arahku.
”Ah tidak apa-apa kok bu.. Maryam hanya sedang berpikir, jangan diganggu dulu ya.. nanti akan Maryam ceritakan kalau sudah selesai.” Ucapku sehalus mungkin agar ibu tidak tersinggung. Dan ibu hanya tersenyum lalu kembali memandang kedepan.
Ibu dan ayah Maryam mengerti dengan anak tunggalnya ini yang jika sudah berfikir tidak mau diganggu-gugat karena konsentrasinya bisa pecah.
”Anak ayah memang suka berpikir ya.. ya sudah sekarang ayah dan ibu tidak akan mengganggu tapi nanti harus cerita lho.. dan ingat jangan mikir macam-macam yang tidak bermanfaat,” kata ayah sambil tetap dengan kesibukannya menyetir.
”Iya..” sahutku singkat. Dan aku kembali memutar otak. Tapi yang muncul malah wajah Yusuf. Ah ayah sih tadi bilang jangan berpikir macam-macam, yang keluar malah macam-macamnya. Kuarahkan pandangan ke luar jendela, terlihat hamparan sawah yang luas, hijau nan indah. Aku senang sekali melihat sawah. Pikiranku ikut segar melihat hijaunya tumbuhan. Tetapi kadang aku prihatin terhadap produktifitas pertanian yang berjalan tidak seiring dengan pertumbuhan penduduk. Mungkin dibutuhkan suatu hal baru agar bisa membantu para petani untuk mempermudah pekerjaannya.
Sejenak kemudian tiba-tiba sesuatu muncul dalam pikiranku, ah kenapa tidak proyek tentang ini saja lagipula pasti akan membantu para petani. Tapi gimana ya? Otakku kembali kuperas. Dalam sehari ada 24 jam, 12 jam adalah siklus terang dan 12 jam berikutnya siklus gelap, tapi kadang petani mengalami gangguan karena mendung, tertutup awan, atau terjadi gerhana, jadi proses penyinaran oleh sinar matahari tidak maksimal bisa 16 jam terang-8 jam gelap, dan 8 jam terang-16 jam gelap. Aku bergumam sendiri. Kalau begitu petani butuh proses penyinaran yang teratur untuk tanaman petani itu, sehingga membutuhkan rancangan bangunan untuk dapat mengontrol cahaya, aerasi, dan drainase secara otomatis, modelnya harus didasari pada proses fotosintesis, seperti cahaya dan kelembapan (termasuk di dalamnya adalah suhu). Wah kayaknya bagus juga, kalau uji coba ini berhasil petani akan sangat terbantu.
Aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan ideku ini pada Yusuf. Kukeluarkan ponselku yang berada di dalam tas kecil warna krem yang berada di sampingku. Kutelfon Yusuf dan kuberitahukan perihal ideku ini padanya, terserah mau diterima atau tidak yang penting aku sudah berusaha memberi masukan. Setelah kujelaskan dengan rinci, ternyata dia setuju dengan ideku ini, dan dia berjanji akan merancang bangunan yang sesuai dengan yang kuharapkan, tapi tentunya dalam merancang bangunan itu aku tetap disuruh mempunyai gambaran rancangan yang kupunya lalu dapat digabungkan atau dipilih yang terbaik.
”Klik…” telfon terputus, kulihat isi pulsaku ternyata sudah habis, aku lupa mengisinya tadi pagi, ah nggak apa-apa yang penting tadi sudah tersampaikan semua uneg-unegku, yang terpenting sekarang adalah rancangan bangunan tersebut. Aku menguap rasa kantuk tiba-tiba datang, kulihat ayah sedang tegang mengemudi dan menyusuri setiap jalan sedang ibu sudah terkantuk-kantuk di sebelah ayah. Ponselku berdering tapi aku tidak mempedulikannya, kusandarkan punggung dan kepalaku di jok kursi mobil, sejenak kemudian mimpi sudah membawaku ke alam maya.
* * *
Perjalanan dari Yogya ke Malang yang selama kurang lebih 7 jam itu kurasakan sungguh menyenangkan karena pemandangan di luar jendela yang kunikmati membuatku semakin kagum akan keagungan Sang Kuasa yang telah menciptakan keindahan dan kenikmatan untuk manusia, agar dapat mengelola dan menjaganya dengan baik. Tetapi dasar manusia, ada saja yang masih tidak menyadari apa yang telah diberikan kepada mereka dan tidak mau bersyukur. Na’udzubillah.
Melancong ke Malang inilah keinginanku dari dulu, yaitu sejak mengenal Icha. Cara berceritanya yang menggebu-gebu membuatku penasaran. Aku bersyukur pada Allah karena telah memberiku kesempatan dapat menikmati keindahan kawasan sejuk, Batu ini. Di Batu bukan hanya ada kebun apel, kawasan ini juga mempunyai sentra perkebunan bunga. Salah satunya adalah sentra perkebunan bunga mawar. Saat menginjakkan kaki di sini aku berdecak kagum mungkin yang kurasakan tidak jauh beda dengan ayah dan ibu. Kedua orang tuaku ini adalah penggemar bunga, maka tidak heran jika halaman rumahku banyak terdapat tanaman-tanaman yang terawat dengan baik.
Kami mengunjungi dua kampung mawar. Yang pertama kami berkunjung ke kampung mawar yang berada di desa Gunung Sari Kecamatan Bumi Aji lalu setelah itu ke kampung mawar di Desa Sidomulyo. Saat memasuki kampung mawar ini mataku dimanjakan oleh semarak kebun mawar dihampir setiap pojok kampung. Mawar-mawar yang mekar itu tampil dalam beragam warna, mulai dari merah marun, oranye, pink, juga kuning. Alhasil, kampung mawar tak kalah elok dibanding taman-taman bunga di mancanegara seperti Belanda, Swiss, atau lembah bunga di Pegunungan Himalaya.
Warga di dua desa ini tak hanya bertani mawar, mereka juga menanam jenis bunga lain seperti teratai, bunga balon, krisan, gladiol, anggrek dendrobium, lili, bougenville, asoka, adenium, aglaonema, dan masih banyak lagi. Namun khusus di dua desa ini bunga mawarlah yang mendominasi. Tak heran jika disebut kampung mawar.
Selain cantik oleh hamparan bunga mawar, desa ini terlihat kian memesona karena dikelilingi oleh perbukitan yang hijau serta empat buah gunung yakni Gunung Banyak, Blerang, Batok, dan Arjuna. Kami membeli bunga mawar ini dengan harga yang sangat murah. Awalnya kami tidak percaya karena harganya hanya Rp 800/polybag. Dipasaran harganya mencapai ratusan ribu rupiah jika sudah ditata apik dalam bentuk rangkaian bunga. Aku sempat berbincang dengan pak Sutrisno, salah seorang pengepul bunga, dia mengatakan bahwa mawar-mawar ini dikirim ke berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan tentunya pulau Jawa. Kampung mawar ini tak sulit dijangkau karena lokasinya hanya sekitar 2 kilometer dari pusat Kota Batu. Jalan Raya Sidomulyo menjadi satu-satunya akses untuk mencapai kampung yang berpenduduk 10 ribu orang itu.
Aku menyusuri sejumlah jalan yang di beri nama bunga mawar. Ada jalan Mawar Putih, Mawar Kuning, Mawar Ungu, Mawar Merah, dan sebagainya. Kulihat rumah warga di kanan-kiri jalan, tak ada yang sepi dari bunga mawar. Setiap jengkal tanah pekarangan warga penuh dengan mawar. Rumah berdinding tembok, bertingkat maupun tidak bertingkat, semua tampil cantik dengan hiasan bunga mawar. Benar-benar sangat indah. Setelah puas melihat-lihat kami duduk-duduk di mushola yang juga tampil indah dan wangi berkat pohon mawar. Saat sholat tiba aku dan ayah segera mengambil air wudhu dan ikut sholat berjamaah sedang ibu menunggu diluar. Andai ibu bisa ikut sholat mungkin hatinya akan ikut wangi dan dapat melihat keindahan melebihi taman mawar ini kelak di akherat nanti.

* * *

Waktu Perlombaan sudah dekat. Dalam beberapa hari ini aku bolak-balik naik bus ke sekolah untuk mempersiapkan rancangan yang akan kami ujicobakan. Ayah dan ibu sudah menyarankanku untuk memakai mobil, tapi aku tetap bersikeras dengan pendirianku.
Di ruang ujicoba, kugabungkan hasil pemikiranku dengan Yusuf dan sekarang jadilah rancangan bangunan model rumah kaca yang kami prediksikan mampu mengontrol cahaya, aerasi, dan drainasi secara otomatis. Model ini didasari pada proses fotosintesis, seperti cahaya dan kelembaban termasuk di dalamnya adalah suhu. Kami dibimbing langsung oleh Kasim uludag dan bekerja sama dengan Nana Sutarna dari Universitas Indonesia. Beberapa hari lagi aku dan Yusuf harus pergi ke Baku, Azerbaijan. Seluruh tenaga dan pikiranku sementara ini hanya kufokuskan pada uji coba ini. Pak Ahyar dan Pak Wandi senantiasa mendampingi dan memberi motivasi pada kami.
Tubuhku sebenarnya sangat lelah dan capek, tapi kalau aku hanya tenang-tenang bagaimana aku bisa menang dan mengangkat nama baik sekolahku?.
Terkadang jika malam, pusing di kepala ini tidak bisa aku tahan. Tidak ada yang tahu kecuali aku. Sengaja aku tidak memberitahukan pada ayah dan ibu. Takut mereka malah akan melarangku pergi dalam mengikuti lomba ini. Disaat-saat aku dan Yusuf jenuh dan ada waktu untuk istirahat setelah melakukan ujicoba, terkadang kami berdiskusi tentang masalah lain atau mengobrol sehingga tahu kepribadian diri masing-masing. Dia tidak seburuk yang aku bayangkan dulu. Satu hal yang tidak ingin dia ceritakan, latar belakang keluarganya. Akupun demikian tidak menceritakan latar belakang keislamanku.
Dan hari ini adalah hari dimana aku harus menunjukkan pada dunia hasil kerja kerasku selama ini. Ayah dan ibuku ikut panik.
”Ayaaah.. sudah jam segini nih, anterin Maryam ke sekolah sekarang dong..” teriakku panik.
”Iya ayah sudah siap tinggal menunggu ibu kamu..” jawab ayah. Sesaat kemudian ibu keluar dari kamar menggunakan kebaya hijau tua. Cantik sekali.. batinku kagum.
Sesampai di sekolah, terlihat di halaman sudah berkumpul teman-temanku termasuk Icha. Dia memeluk dan mendoakanku semoga berhasil dan aku mengamininya. 30 menit kemudian kami berangkat menuju bandara, ayah dan ibuku ikut mengantar mengikuti mobil yang kutumpangi dari belakang. Tidak kulihat ayah dan ibu Yusuf . mungkin sedang sibuk pikirku.
* * *

Aku tidak menyangka kalau sekarang aku berada di Baku, Azerbaijan. Aku dan Yusuf merasa sangat tegang, berkali-kali Pak Wandi memberikan nasehat pada kami agar tetap tenang. Peserta-peserta lain yang berasal dari 15 negara di Asia dan Eropa mungkin sama dengan yang aku rasakan. Aku terus berdoa. Jika tidak menangpun bukan masalah bagiku yang terpenting aku telah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dan aku berniat akan membantu para petani dengan proyek yang telah kubuat ini.
Acara dimulai dengan upacara pembukaan dan diisi sambutan oleh Presiden Azerbaijan, Ilhan Aliyev selaku tuan rumah. Setelah itu perlombaan segera dimulai. Kami mendapat urutan ke 7, tiba-tiba pusing kepalaku kambuh lagi, agar tidak ada yang tahu aku berlari menuju toilet dan meminum obat yang telah aku bawa dari rumah. Alhamdulillah agak berkurang. Rasa deg-degan dan tegang membuatku terlihat bertambah pucat.
”Kamu sakit ya Maryam…” tanya Yusuf prihatin, saat aku sampai di sampingnya.
”Ah .. tidak apa-apa,” hanya tegang. Elakku, padahal badanku sangat lemas, dan rasanya mual-mual. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi giliran kami.
Saat-saat yang telah ditunggu itu akhirnya datang. Aku dan Yusuf maju dan siap berlaga di International Enviromental Project Olympiad Euroasia (Inepo Euroasia) ini. Bismillah, aku harus berhasil. Doaku mantap. Pak Wandi dan pembimbingku terlihat tegang.
Para peserta lain dan para penonton diam, sepertinya penasaran menunggu presentasi dari proyek ujicoba kami. Pertama-tama Yusuf yang bicara dengan bahasa Inggris, dia memperkenalkan diri dan perwakilan dari mana negara kami berasal. Tak kusangka bahasa Inggrisnya sangat lancar dan fasih.
Lalu giliranku, aku memperkenalkan nama proyek kami yaitu Automatic Greenhouse Censor Design, ku jelaskan pada mereka mengapa kami membuat proyek bangunan seperti ini yaitu atas keprihatinan terhadap produktivitas pertanian yang tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Lalu Yusuf menjelaskan sistem kerja alat miniatur rumah kaca tersebut, bangunan miniatur rumah kaca ini mengadopsi bentuk rumah kaca yang sesungguhnya. Miniatur rumah kaca ini dilengkapi dengan sensor-sensor untuk menjaga kelembaban, temperatur dan kekontinyuitasan penerimaan dari sinar matahari atau sinar neon. Lalu Yusuf menyilakanku meneruskan. Adapun tujuannya agar proses photosintesis tanaman dapat berjalan dengan maksimal. Lamanya penyinaran berdasarkan siklus alam, yaitu: 12 jam terang 12 jam gelap, 16 jam terang 8 jam gelap, dan 8 jam terang 16 jam gelap. Datangnya sinar matahari selama bersinar 12 jam, terkadang suka mengalami gangguan. Bentuk gangguan itu adalah mendung, tertutup awan, terjadi gerhana dan lain-lain. Untuk mengatasi gangguan penyinaran oleh matahari, pada rumah kaca ini dilengkapi dengan sensor cahaya. Untuk menggantikan cahaya matahari selama proses photosintesis ini akibat ganguan dari alam tadi digantikan dengan cahaya neon ini akan bekerja berdasarkan hasil pendeteksian oleh sensor dan program yang disetting siklusnya.
Yusuf ganti menjelaskan, ”Kelembaban tanaman akan dideteksi oleh sensor RH, yang disesuaikan dengan setting yang diinginkan. Apabila kelembaban yang terukur kurang dari nilai settingannya, maka sensor akan mendeteksi, kemudian akan mengirimkan sinyalnya ke kontroller dan kemudian kontroller akan mengaktifkan mesin pompa penyemprot air. Keberadaan temperatur di dalam rumah kaca juga dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan suhu setting yang diinginkan. Apabila suhu yang terjadi melebihi suhu settingannya, maka sensor akan mendeteksi dan mengirim sinarnya ke kontroller, kemudian kontroller akan mengaktifkan kipas untuk membuang panas yang ada di dalam rumah kaca. Agar proses pembuangan temperatur berjalan cepat, pada miniatur rumah kaca dibuat sirkulasi dua arah, yaitu arah angin masuk dan arah angin keluar dengan menggunakan dua buah kipas. Demikianlah, mungkin itu saja penjelasan dari kami, dan saya rasa sistem kerjanya sudah jelas.” Kata Yusuf mengakhiri penjelasan.
”Plok-plok…” Tepuk tangan riuh penonton membahana. Pak Wandi terlihat mengusap air mata harunya dan mengacungkan jempol pada kami. Kurasakan semua badanku panas dan sangat pusing. Aku berusaha menahan agar dapat menjaga keseimbangan tubuh saat berjalan untuk kembali bergabung dengan Pak Wandi dan yang lain, tapi sepertinya aku tidak dapat menahannya.
Dan ”Brukk..” badanku lunglai. Sekilas banyak kulihat orang ramai dan merubungku. Kurasakan badanku melayang. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Semua gelap, bau obat-obatan menyengat hidungku. Perlahan-lahan kubuka mata. Cahaya putih, dinding putih dan disebelahku tiang putih, diatasnya tabung infus meneteskan air ke nadi tangan kiriku. Samar-samar kulihat banyak orang disekitarku.
”Ah.. Mary kamu sudah sadar anakku..” terdengar suara yang sudah tak asing di telingaku.
”Ibu..” panggikku lirih. Ibu menangis, baru kulihat beliau menangis. Biasanya ibu sangat tegar jika menghadapi sesuatu. Ayah mendekat dan mengelus kepalaku. Matanya berkaca-kaca. ”Sa..a..sa ya.. di..mana.. ?” tanyaku terbata.
”Kamu di rumah sakit nak.. jawab ibuku serak.” Di belakang ibu kulihat Yusuf dan Pak Wandi berdiri dan memperhatikanku. Sepertinya mereka ingin mendekat dan menyapaku. Kurasakan kepalaku ini sakit sekali. Kupegangi kepalaku.
”Astaghfirullah..” pekikku pelan ”Ma..mana.. kerudungku…” tanyaku berusaha dengan suara keras. Aku menangis, biarlah nyawaku hilang yang penting auratku tidak terbuka. Bu.. mana kerudungku.. tanyaku sekali lagi.
Tadi ibu copot nak karena sepertinya ibu lihat kamu merasa tidak nyaman.
”Sa..ya.. malah merasa tidak nyaman seperti ini bu..” kataku sambil memegang kepalaku karena sakit kepala ini tidak tertahankan. ”Ayah tolong ambilkan kerudung..” kataku meminta tolong. Ayah langsung berjalan mengambilkan kerudung di atas meja yang kupakai saat lomba di Azerbaijan. Ah.. aku berusaha mengingat lagi dimana aku sebelum disini. Setelah ibu membantuku memakai kerudung tiba-tiba perutku seperti diaduk-aduk, rasanya mual.
”Hueekk.. huekk..” aku muntah. Selimutku basah oleh sisa makanan yang kukeluarkan. Semua terlihat panik. Yusuf memanggil dokter. Dunia kembali gelap. Aku tak sadarkan diri, sayup-sayup kudengar dokter bertanya apa yang terjadi barusan dan ibu menjelaskan.
Kuarungi alam maya.
Gelap yang semakin larut menyongsongku dalam pekat yang akut, ego yang tadinya memaksa telah menjadi beban tanpa daya Siapa sangka semua itu kan berakhir menjadi sebuah hikayat yang bernaung dalam sejarah? ketika rasa senantiasa menanti akan hadirnya seorang pemberani, dalam sebuah pencarian, tuk dapat menggapai mimpi yang berarti.
Di alam bawah sadar kulihat ibu dan Yusuf bergandengan tangan. Aku dan ayah tersenyum. Tetapi datang seorang perempuan lalu menggandeng Yusuf pergi, tidak jelas siapa perempuan itu. Aku tidak bisa menghentikan mereka. Yusuf bukan apa-apaku untuk apa kuhentikan mereka? Pikirku.
”Maryam bangun ini aku..” kurasakan seseorang mengelus kepalaku. Mataku perlahan-lahan kubuka.
”Icha..” desisku pelan. Setelah itu mataku terpejam lagi. Entah kenapa aku ingin sekali tidur, badanku capek.
”Sudahlah Cha.. Maryam hanya tidur kok jangan khawatir.”
”Tapi matanya saat terbuka tadi kelihatan kuning, dan badannya masih agak panas bu.”
”Yah doakan saja semoga cepat sembuh,” ibuku menenangkan Icha, padahal dalam hatinya sangat mengkhawatirkanku. ”Kau tahu Cha.. Maryam memilih sendiri agamanya saat masih kecil.” Ibuku mulai bercerita.
”Benarkah bu..” Icha terbelalak tidak percaya.
”Tok..tok…tok…” Suara seseorang mengetuk pintu. Yusuf muncul.
”Oh Yusuf.. silakan masuk..” Ibuku menyilakan.
”Maryam belum bangun bu?” Tanya Yusuf.
”Tadi sudah bangun sebentar, sekarang dia sedang tidur, tenang saja.” Yusuf duduk di kursi yang berada agak jauh dari Icha.
”Lalu bagaimana bu.. kok bisa seperti itu..” tanya Icha masih penasaran dengan ibuku. Yusuf menggeser duduknya agar bisa ikut mendengarkan.
”Saya boleh ikut mendengarkan?” Tanya Yusuf sambil tersenyum.
”Oh boleh-boleh saja.. Ceritanya begini..” Ibuku mulai bercerita bagaimana aku dulu memilih agama Islam. Icha dan Yusuf mendengarkan dengan seksama.
Mary kecil adalah seorang anak yang cerdas. Disaat teman-temannya sedang asyik bermain dan belum bisa lancar membaca, ia telah membaca buku-buku karangan orang-orang terkenal. Menginjak umur 10 tahun ia semakin tertarik dengan agama Islam, dan bercita-cita ingin menghafal Al-Qur’an. Tetapi ia mengalami kesulitan karena dulu masih berada di Inggris. Mary mempunyai paman yang sangat akrab dengannya, namanya Alexander Brandit, mahasiswa di sekolah favorit dan unggulan di Britania yaitu Eton College, yang masuk ke sekolah tersebut adalah kasta (kelas) atas warga Britania ataupun dari luar Britania.
Diantara yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah ini adalah Pangeran William dan Pangeran Harry. Keduanya adalah putra Pangeran Charles yang merupakan putra mahkota kerajaan Inggris. Dari sinilah sekolah ini memperoleh ketenaran yang luas, tidak saja di Britania tetapi juga dipenjuru dunia. Mary sangat dekat dengan pamannya ini karena terkadang jika berangkat sekolah Mary ikut, alhasil mahasiswa-mahasiswa yang belum mengenalnya menganggap anak yang dibawanya adalah anaknya sendiri.
Sahabat Alexander yang bernama Samuel Walkinson juga awalnya menyangka begitu, Tapi akhirnya tahu juga dan sangat sayang terhadap Mary. Alexander dan Samuel sering bertanya kepada Mary mengapa suka terhadap Al-Qur’an dan membaca buku-buku tentang Islam apalagi Sirah Nabawiyah, dan Mary menjawabnya dengan tegas bahwa agama yang haq dan menunjukan ke jalan yang lurus adalah Islam. Mary sering memaksa kedua orang ini untuk mengajaknya ke majelis-majelis ilmu agama yang ada di London dan meminjam buku-buku yang ada disana. Karena daripada diajak bermain-main ia lebih senang diajak ke majelis tersebut. Samuel dan Alexanderpun tidak habis pikir dengan sikap aneh anak yang satu ini.
Suatu saat di majelis tersebut ada seorang wartawan yang sedang mencari referensi untuk tambahan bahan yang dibutuhkannya. Wartawan tersebut melihat seorang anak kecil yang ditemani dua orang mahasiswa sedang membaca buku-buku Islam, wartawan tersebut tertarik dan akhirnya dia mencari tahu dimana Mary tinggal agar dapat diwawancarai siapa tahu bisa menjadi berita yang bagus karena ada anak kecil yang mempunyai minat baca tinggi.
Pamannya Alexander sangat sayang terhadap Mary karena selain cerdas Mary juga unik, saat teman-temannya memaksa Mary untuk bermain, Mary malah menangis dan berlari lalu mengambil Al-Qur’an dan dipeluknya.
Orang muslim disekitar kami sangat jarang sehingga jika ingin belajar agama Islam harus pergi ketempat yang jauh, sesekali aku dan ayah Mary mengantarnya karena dia selalu memaksa ingin belajar membaca Al-Qur’an. Saat liburan sekolah tiba Mary meminta untuk menginap ditempat dia biasa belajar agama. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena itulah pilihan Mary.
Kepindahan Mary ke Indonesia membuat pamannya Alexander dan Samuel sedih karena mereka sudah terlanjur sayang dengan Mary. Akhirnya dengan berat hati mereka melepas kepergian Mary. Dan sekarang pamannya itu sudah memeluk Islam. Katanya mereka mencari tahu setelah kami pindah. Ibuku mengakhiri cerita.
”Maaf bu.. boleh saya bertanya?” Izin Yusuf.
”Silakan..”
”Ehm.. mengapa ibu tidak beragama Islam? Tidak cukupkah bukti yang telah ibu peroleh dengan keIslaman Maryam dan pamannya itu? Hadits Rosulullah tentang fitrah manusia telah dibuktikan dengan pilihan anak ibu Maryam. Ibuku tersentak,” matanya berkaca-kaca.
Yusuf tidak menyangka pertanyaannya membuat ibuku mengalirkan air mata.
”Ma..a..f bu.. jika pertanyaan saya menyinggung perasaan ibu.” Yusuf merasa sangat bersalah, kadang ucapannya yang ceplas-ceplos membuatnya tidak sadar sedang dengan siapa ia berhadapan.
”Aku.. aku.. merasa dosaku sudah sangat banyak… masihkah Tuhanmu menerimaku?” Tanya ibuku dengan menunduk. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi seorang muslim, tapi kukira sudah terlambat. Icha diam, tidak tahu harus berkata apa. ”Aku malu, saat Maryam menanyakan hal ini padaku.”
Yusuf tersenyum, ”Tidak ada kata terlambat bu.. Allah Maha Pemaaf, jika ibu yakin akan kebenaran tapi tidak segera masuk ke dalamnya, ibu akan tambah berdosa. Ibu tahu? Mungkin keinginan terbesar Maryam adalah keIslaman ibu, tidakkah ibu merasa? Bagaimana nanti kalau keinginannya belum terwujud tapi dia.. dia..” Yusuf tidak dapat meneruskan.
Tangis ibuku pecah, lalu melihat kearahku. ”Mary.. ibu sayang kamu nak.. ”
Icha menangis terharu, dari luar ternyata ayahku mendengar percakapan tadi, beliau berharap Allah segera membuka pintu hati Istrinya. Air matanya pun mengalir. Suasana diselimuti rasa haru.
”Lihatlah mata Maryam bu.. ibuku menoleh ke arahku.” Air mata mengalir begitu saja tanpa kusadari. Aku masih tenggelam dalam alam maya.
Sudah beberapa hari ini aku di rumah sakit, badanku merasa sangat tidak enak, mulai dari mual-mual, ingin muntah, tidak nafsu makan, lalu timbul kuning di mata dan di kulit (ikterus) serta gejala seperti flu. Tetapi sekarang sudah berkurang.
Kulihat dimeja sebelah ranjangku terdapat tumpukan buku tentang Islam, siapa yang membawanya? Ataukah ayah menyiapkannya untuk para penungguku agar tidak bosan? Tapi ah.. tidak mungkin. Karena buku-buku itu sepertinya sudah pernah dibaca oleh ayahku. Tadi pagi Pak Ahyar, Pak Wandi, dan pembimbing ujicobaku datang. Mereka membawa medali emas. Kata mereka proyek tentang Automatic Greenhouse Sensor Design yang kutampilkan bersama Yusuf dalam olimpiade bidang biologi dapat mengempaskan 52 proyek penelitian peserta lain yang berasal dari 15 negara di Asia dan Eropa, Aku tidak percaya kami berhasil membawa medali emas dari International Environmental Project Olympiad Euroasia. Tak henti-hentinya aku bersyukur dan mengucap Hamdalah atas keberhasilanku ini. Tak terasa bulir mutiara mengalir dari bola mataku. Thanks Allah.
”Kreek..” seseorang membuka pintu, terlihat ayahku dan dokter Zubairi masuk membawa kertas.
”Setelah melihat hasil tes darah, kadar SGPT dan SGOT anak ibu ternyata lebih dari 1500. jadi ibu bisa tenang…” kata dokter memberitahu hasil tes darah yang telah dilakukannya. ”Gejala-gejala yang dirasakan anak ibu adalah gejala infeksi awal.”
”Bagaimana bisa tenang, dok.. bukankah itu berarti anak saya terkena hepatitis?”
”Cuma hepatitis A, bu.. tidak berbahaya. Justru kalau SGPT dan SGOT nya kurang dari 1500 itu bisa terkena hepatitis B atau C yang sangat berbahaya. Ibu beruntung. Memang pada awal, gejalanya mencolok. Demam, mual, dan kencing menjadi seperti air teh tua dan mata kuning. Kalau hepatitis B dan C bersifat jangka panjang dan lebih berbahaya, sebagian bahkan bisa menjadi hepatitis menahun dan kanker hati. Sedangkan hepatitis A, hampir semuanya sembuh sempurna.” Ibuku manggut-manggut mendengarkan penjelasan dokter.
”Hepatitis virus memang merupakan penyakit hati yang banyak ditemukan di dunia, lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan kejadian di Amerika atau Eropa. Sesuai dengan namanya, penyebabnya adalah virus yang menyerang hati. Ada lima jenis virus hepatitis yaitu virus hepatitis A (HAV), virus hapetitis B (HBV), hepatitis (HCV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDC), virus hepatitis E (HEV). Yang banyak ditemukan di Indonesia adalah virus hepatitis A, B, C. cara penularan virus hepatitis A adalah melalui saluran cerna. Artinya penyebarannya dapat melalui makanan/ minuman/ air yang terkontaminasi virus.”
Aku ikut mendengarkan penjelasan dokter, tidak ada yang mnyadari kalau dari tadi aku sudah bangun.
”Sementara cara penularan virus hepatitis B melalui transfusi darah dan hubungan seksual.” Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM itu menjelaskan lagi. Aku merinding, Alhamdulillah aku hanya terkena hepatitis A.
”Sedangkan virus hepatitis C terutama ditularkan melalui jarum suntik pengguna narkotika dan transfusi darah. Dari penelitian tidak terbukti adanya penularan dari ibu janin pada infeksi HAV, namun pada infeksi HBV dan HVC dapat terjadi. Sebagian kasus hepatitis virus akan sembuh spontan, pada hepatitis A tidak akan menyebabkan penyakit yang bersifat menahun dikemudian hari. Demikian pula risiko komplikasi yang berat, hampir tidak ada. Untuk itu pasien hepatitis A boleh istirahat di rumah guna memulihkan kondisinya. Rawat inap dilakukan bila pasien mengalami mual, muntah yang hebat sehingga terjadi kekurangan cairan atau mata kuning sekali atau ada tanda-tanda gagal hati tapi itu amat jarang terjadi.”
”Jadi anak saya boleh dibawa pulang dok?” Tanya ayah kemudian.
”Iya boleh, tetapi selama di rumah asupan kalorinya harus diperhatikan dan pemberian cairan harus dalam jumlah yang cukup, kurangi aktifitas fisik yang berlebihan dan istirahat.”
”Lalu obatnya dok?” Tanya ayah lagi.
”Tidak ada obat spesifik untuk infeksi hepatitis A ini, bahkan konsumsi obat-obatan yang tidak perlu harus dihentikan.”
Akhirnya aku diperbolehkan pulang. Lega sekali rasanya. Di rumah sakit aku merasa sangat bosan karena hanya tidur-tiduran saja. Suasananya pun pengap dan bau obat. Aku sangat rindu dengan rumahku ini, sejelek-jelek apapun rumahku adalah surgaku. Jarang sekali aku keluar rumah, karena desain rumahku ini dibuat sedemikian rupa agar kami sekeluarga betah di rumah. Bisa dikatakan rumahku ini adalah sebuah rumah tinggal yang hemat energi, tanpa mengurangi keindahan dan tidak mereduksi kenyamanan penghuninya. Pintu dan jendelaku dibuat besar. Bukaannya berupa pintu geser berkaca lebar yang ditempatkan di sisi samping dan belakang sehingga memberikan pergerakan udara bebas. Karena itu, rumahku tidak menggunakan AC satupun. Cahaya alami juga lebih leluasa masuk ke rumah sehingga di siang hari tak perlu menyalakan lampu. Tidak ada pemborosan energi. Ya, rumahku dirancang dengan pertimbangan hemat energi, tetapi tetap nyaman dihuni.
Kata Arsitek Lanskap yang tergabung dalam Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), desain rumah yang bagus harus memungkinkan bukaan yang mempelajari posisi bangunan terhadap arah sinar matahari ke dalam rumah. Idealnya, rumah menghadap ke timur sehingga dapat memperoleh asupan sinar matahari dipagi dan sore hari. Namun, bila tidak memungkinkan, pemakaian listrik dapat diminimalisasi dengan memperhatikan arah sinar matahari ke dalam rumah.
Malam yang indah, aku suka memperhatikan langit. Gemerlap bintang yang berkedip seakan-akan memperhatikanku. Aku suka memilih bintang favorit yaitu yang paling besar dan terang. Aku ingin seperti itu, menjadi yang terbaik diantara lainnya. Saat bentuk bulan sempurna atap bumi itu terlihat semakin indah. Subhanallah.
”Ting tong.. assalamualaikum..” kudengar bel rumahku berbunyi. Aku enggan membuka pintu. Biarlah ibu yang membukakan. Tapi aku penasaran juga siapa yang datang malam-malam begini. Walaupun masih agak lemas kulangkahkan kakiku ke ruang tamu. Lamat-lamat aku seperti mendengar suara paman Alexander. Kupercepat langkah, dan dugaanku benar ternyata pamanku Ali dan temannya Ismail yang telah ku anggap paman sendiri juga datang. Aku hampir tidak percaya. Banyak sekali hal-hal tak terduga yang kualami. Allah yang telah mengatur semuanya. Qiblat Cintaku takkan berubah apapun yang terjadi.
Malam itu sebenarnya aku ingin sekali mengobrol banyak dengan paman, tetapi ibu melarang karena aku harus menjaga kondisi. Aku tidak menyangka ternyata paman datang hanya karena mengkhawatirkan kondisiku. Mereka sempat menonton chanel yang menayangkan perlombaanku saat di Azerbaijan. Secara otomatis saat aku pingsan mereka tahu karena ikut ke shooting.
Hari ahad pagi, setelah melihat tayangan televisi yang menampilkan tentang kota santri dan bagaimana keadaan suatu pesantren, aku mengobrol dengan kedua pamanku di ruang keluarga yang nyaman. Ibu ikut bergabung bersama kami sedangkan ayah berangkat ke kantor. Sebenarnya ayah ingin bergabung tetapi hari ini ada meeting yang telah ditundanya saat pergi ke Malang. Badanku sudah agak mendingan. Ibu benar-benar memperhatikan dan merawat kondisiku. Aku bercerita macam-macam. Dari liburanku ke Malang, prestasi sekolah yang berhasil kurebut, dan lomba yang telah kuikuti. Lalu akhirnya kuutarakan keinginanku untuk ke pesantren setelah lulus sekolah nanti, entah kenapa setelah melihat tayangan tadi keinginan itu begitu kuat. Aku ingin bermimpi.. bangun dan merealisasikan mimpiku menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Aku belum berani menghafal juz 1 baru juz 30 itupun belum lancar. Kedua pamanku mendukung keinginanku itu. Tak kusangka Ibu juga mendukung. Yang membuat aku surprise adalah ternyata yang membawa buku-buku tentang Islam di rumah sakit itu adalah ibu. Hatiku berbunga-bunga, seakan ada embun segar menetes. Dan kurasakan menemukan oase ditengah padang pasir yang panas. Ya Allah berilah hidayah pada ibu agar dapat segera bergabung dengan kami dalam satu Qiblat, cinta yang sama hanya kepada-Mu.
”Ehm… aku ingin tahu banyak tentang Islam..” ucap ibu sambil menoleh ke arah paman Ali. ”Ceritakanlah..” perintah ibu. Paman Alexander yang namanya menjadi Ali setelah keislamannya itu lalu menceritakan bagaimana awalnya tertarik dengan Islam dan akhirnya memutuskan untuk meyakininya. Begitu juga paman Samuel yang juga mengubah namanya setelah keislamannya menjadi Ismail. Di ruangan ini kami merasakan sesuatu yang penuh dengan kedamaian. Paman Ali menjelaskan apa-apa yang berkaitan dengan Islam, aku ikut mendengarkan dengan seksama. Pengetahuannya luas, aku bangga punya paman ini, dia sangat pandai, aku banyak mendapat pelajaran setelah mendengarkan penjelasannya.
”Sesungguhnya kita diciptakan di dunia ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) minimal untuk diri sendiri. Kita dibekali akal pikiran serta hati untuk tujuan itu. Disisi lain, kita diberi rintangan berupa godaan syetan dan nafsu untuk melupakan tugas suci sebagai khalifah. Allah telah menyiapkan tiga nasehat agar kita tidak tergoda, yang pertama nasihat dari yang bisa diajak bicara, nasihat dari yang tidak bisa diajak bicara, dan nasihat dari yang selalu bicara.”
”Maksudnya?” Tanya ibuku ingin tahu. Aku tersenyum melihat keingintahuan ibu. Apakah ini ada kaitannya dengan mimpiku? Tapi mengapa harus ada Yusuf dan perempuan itu? Ah.. sudahlah. Aku kembali mendengarkan penjelasan paman.
”Nasihat pertama yang bisa diajak bicara adalah Al-Qur’an. Semua persoalan hidup dan kehidupan semuanya ada jawabannya dalam Al-Qur’an, tergantung mau dan tidaknya kita membaca dan memahami isinya. Nasihat kedua yang selalu mengajak kita bicara adalah alam. Islam mengajarkan kita untuk belajar dari alam. Nilai keseimbangan dan keteraturan yang dilakoni alam merupakan nasihat kepada manusia untuk dicontoh. Matahari tidak pernah bosan menerangi alam ini walaupun banyak manusia yang tidak berterimakasih dengan kehadirannya. Air tetap mengalir walaupun banyak manusia merusak alam sekitarnya. Dan bagaimana alam murka ketika melihat kemungkaran terjadi dimana-mana. “katakanlah, berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml 27: 69).
”Nasihat ketiga yang tidak bisa bicara adalah kematian. Akhir dari perjalanan manusia adalah kehidupan abadi yang diawali dengan kematian. Kematian bukan akhir dari proses kehidupan, tapi merupakan awal dari kehidupan kekal manusia. Rosulullah menganjurkan untuk berziarah ke tempat saudara kita yang meninggal untuk kembali merenungi arti kehidupan. Dengan begitu, kita tidak mudah tergoda dengan kenikmatan semu dunia sehingga melupakan bekal untuk perjalanan yang maha-abadi kelak. ”Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al-Jumu’ah 62: 8).”
Mata ibuku menerawang, sesaat kemudian, bulir-bulir mutiara mengalir dari pelupuk matanya. ”Mengapa selama ini hatiku tidak terbuka… Mengapa aku tidak sadar ada banyak cahaya disekitarku. Jika aku mati, entah bagaimana nasibku di akherat, aku belum memiliki bekal apa-apa. Masihkah Allah menerimaku?”
”Allah Maha Pengampun bu.. Dia pasti akan menerima ibu.” Kataku terharu dengan yang telah diucapkannya tadi. Sungguh inilah yang aku tunggu-tunggu. Terimakasih banyak ya Allah.
Akhirnya pada hari itu juga ibuku masuk Islam, ah andai ayah mendengar syahadat yang diucapkan ibu tadi. Setelah itu aku pergi ke kamar mandi, berwudhu lalu sujud syukur atas segala kenikmatan yang telah Allah berikan. kemudian aku menelfon ayah, menceritakan kejadian ini. Ayahku merasa sangat senang. Inilah yang ayah tunggu-tunggu dari dulu, katanya waktu ditelfon tadi. Ayah akan segera pulang. Kutunggu ayah.
Salah satu dari cita-citaku telah terwujud. Sekarang aku akan mewujudkan cita-citaku yang lain. Aku harus berani bermimpi dan merealisasikannya. Selalu berubah untuk menjadi lebih baik dan memiliki tujuan. Karena, Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus.
”Kriing.. kriing..” suara telepon yang berada di ruang keluarga berdering. Aku berlari dari kamar berniat untuk mengangkat, tetapi paman Ismail terlihat sudah mengangkatnya. Pembicaraan hanya sebentar.
”Klik..” paman Ismail meletakkan gagang telepon. Kulihat rona wajahnya berubah menjadi tegang seakan ingin mengatakan sesuatu. Ibu dan paman Ali datang menanyakan dari siapa telepon tadi. Paman Ismail hanya menunduk, kami mendekat penasaran apa sebenarnya yang telah terjadi.
”Ada apa paman, siapa yang menelfon tadi?” Tanyaku tidak sabar.
”Yang menelfon dari pihak rumah sakit. Kata mereka ayah kamu.. Ayah kamu Maryam…”
”Ada apa dengan suamiku?” Tanya ibu dengan mata berkaca-kaca, seakan tahu apa yang akan diucapkan paman Ismail.
”Dia… ke..ke..celakaan, dan tidak dapat diselamatkan.” Seakan ada petir menyambar. Kami semua kaget dengan apa yang baru saja dikatakan paman Ismail.
”Gubrakk..” ibuku pingsan. Tangisku pecah, aku berusaha menahan segala gejolak yang ada dalam hatiku. Mengapa secepat ini? Baru saja kami mendapatkan kebahagiaan atas keislaman ibu. Sekarang datang kabar bahwa ayah telah tiada. Allah berikan aku ketabahan. Engkau yang tahu maksud dari semua ini.
Kami sekeluarga diselimuti kesedihan, rumah yang ramai oleh para pelayat seakan hanya menjadi boneka-boneka penghibur yang tiada guna. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan di depan jasad ayah menjadi penenang dan penyejuk tersendiri.
Kata sekretaris yang menjadi tangan kanan ayah, tadi setelah menerima telfon dari rumah, beliau langsung cepat-cepat memberesi barang-barangnya, dia tidak pernah melihat bosnya sebahagia ini, dan katanya ayah sudah tidak sabar ingin segera pulang. Tetapi saat mengemudi, truk yang melaju dengan kecepatan tinggi telah menabrak mobil ayah dan merenggut nyawanya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Kulihat Ibu tidak menangis tapi pandangan matanya kosong. Aku tidak tega jika melihatnya seperti itu. Aku selalu berada di sampingnya untuk menenangkannya. Semua di dunia ini memang tidak ada yang kekal.
* * *

Kematian ayah tidak membuat kesedihan kami berlarut-larut. Kami sadar semua akan kembali pada-Nya. Allah tidak akan menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hamba-Nya. Apa yang kita terima mungkin terasa berat diawalnya tetapi kita tidak tahu ada hikmah dibalik itu semua dan akan menjadi penyelamat dikemudian hari. Menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah kita hadapi, akan lebih baik daripada berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan. Dan apabila seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran menjadi kosong, hidup terasa hampa dan tak berguna lagi. Hal ini memudahkan setan menjerumuskan dalam tindakan yang sangat fatal dan berbahagia. Fatal dunia dan akhirat. Na’udzubillah min dzalik.
Saat ini perusahaan yang ditangani ayah diserahkan kepada paman Ali. Awalnya paman Ali menolak tapi akhirnya bersedia juga karena siapa lagi yang bisa diserahi untuk menerima jabatan itu. Tugas-tugas yang ada di Inggris diserahkan pada paman Ismail. Sehingga paman Ismail harus kembali ke Inggris sendirian. Setelah diurus semuanya dan memikirkan masak-masak, paman Ali memutuskan untuk menetap saja di Indonesia dan membeli rumah yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami. Istri dan anaknya mengerti dan mau menerima untuk tinggal di Indonesia.
Saat ini aku sudah kelas tiga. Tak terasa waktu telah berjalan begitu cepat dan aku harus menyiapkan dari awal untuk persiapan ujian. Aku kurang begitu suka dengan para guru yang pengajarannya hanya mementingkan kelulusan para murid dan mengejar standar nilai sehingga menekankan pelajaran yang akan diujikan, mereka malah melupakan pendidikan moral yang menurut hematku lebih penting.
Kusiapkan dari awal segala yang kubutuhkan di kelas tiga ini. Ringkasan pelajaran pada kelas satu dan kelas dua sudah aku jilid rapi, tinggal mempelajari saja. Seperti biasa aku lebih banyak meluangkan waktuku dirumah untuk belajar, banyak membaca buku, mencoba membuat cerpen, lalu novel. Sedangkan ibu menyibukkan diri dengan usaha butik barunya, agar tidak jenuh di rumah. Setelah maghrib aku biasanya mengajari ibu mengaji dan memberikan sedikit pengetahuan tentang agama sesuai dengan apa yang kuketahui lewat buku atau lainnya. Hari-hari begitu terasa bermakna, aku bisa mengamalkan ilmuku dan berdakwah pada keluargaku, mungkin kalau aku mampu nanti akan kuamalkan juga ilmuku pada orang lain dan tentunya bisa juga dilakukan secara tidak langsung. Rumah kami terkadang ramai oleh anak-anak paman Ali yang sering bermain dan menginap bersama kami. Mereka anak kembar yang sangat lucu namanya Umar dan Utsman, semoga kalian menjadi anak-anak yang sholeh.
Niatku setelah kelas tiga untuk nyantri kepondok pesantren semakin bulat, aku ingin menjadi seorang yang benar-benar mendalami dan mengerti agama. Aku ingin menjadi seorang penghafal Al-Qur’an, menjaganya, dan tentu mengamalkannya. Tapi kalau aku ke pesantren ibu dirumah dengan siapa? Aku tidak tega membiarkannya sendirian walaupun niatku adalah menuntut ilmu. Saat kuutarakan lagi niatku ini ibu mendukung seratus persen tapi pastinya ibu akan kesepian. Ah.. aku begitu sayang dengan ibu.
Di sekolah sekarang aku lebih banyak diam, jam-jam kosong kugunakan untuk pergi ke perpustakaan sehingga aku tidak sering bersama Icha, sering kutemukan Yusuf juga melakukan hal yang sama denganku membaca di sana. Entah mengapa banyak sekali hal-hal yang membuatku tidak bisa menerima kesamaan antara aku dengannya. Terkadang kami mengobrol membicarakan hal-hal dari yang penting sampai yang tidak penting yaitu kesamaan kami. Saat larut dalam obrolan itulah kami sampai tidak menyadari kalau sudah lama mengobrol. Sebetulnya tadi aku sadar, tapi pembicaraan itu terus mengalir sulit untuk berhenti. Aku sempat mengutarakan keinginanku untuk nyantri, dia tahu banyak tentang pondok pesantren dan memberi gambaran tentang kehidupan-kehidupan yang ada di pesantren. Katanya dia mempunyai alternatif pesantren yang cocok untukku, tapi dia tidak ingin mengatakannya sekarang. Nanti saja setelah lulus kelas tiga kalau memang aku jadi nyantri. Tak kusangka dia tahu banyak tentang dunia pesantren, malahan sepertinya bukan hal yang asing. Setelah mendengar ceritanya tadi sepertinya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera lulus. Yah.. aku tetap akan ke pesantren.
Di dalam kamar aku merancang lagi peta hidupku 5 tahun ke depan, aku ingin 2 tahun menghafal AlQur’an dan tentunya melanjutkan sekolah yang setara dengan perguruan tinggi lalu 1 tahunnya melancarkan hafalan Al-Qur’an istilah yang tadi dikatakan Yusuf Tabarrukan. Setelah itu bekerja, menikah dan melanjutkan S2. Fiuuuh.. jadi juga petaku ini, aku tersenyum puas, pasti bisa.. aku harus optimis, berani bermimpi. Aku telah mempertimbangkannya masak-masak karena saat aku pergi nanti mungkin ibu akan tinggal di rumah paman Ali.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah karena hari ini piket di kelas. Bis yang kutumpangi masih sepi hanya ada beberapa orang. Seorang ibu-ibu yang mungkin penjual di pasar Telo lalu beberapa anak SMP dan seorang kakek yang sedang asyik menikmati rokoknya. Sapu tangan yang kubawa daritadi kututupkan kehidung untuk menghindari bau asap rokok itu. Aku sangat membenci bau ini, entah kenapa banyak orang yang mau membakar uang dalam hitungan sekejap dengan barang seperti ini. Padahal jelas-jelas di bungkusnya sudah tertulis bahaya rokok. Bukan hanya membahayakan diriya sendiri tetapi orang-orang disekitarnya juga kena dampaknya.menurutku perokok adalah egoistik dalam formatnya yang sempurna. Dia sebagai ahli hisab tak punya beban apapun untuk mendemonstrasikan keahliannya minum racun. Penderitaan orang lain yang duduk bersebelahan dengannya nyaris tidak dipertimbangkan.
Coba amati panorama yang ada di Saudi Arabia, ada fatwa pengharaman merokok. Diberbagai ruang publik terbaca peringatan ini: “al-tadkhin mamnu’ atau mamnu’ al-tadkhin (haram merokok). Tetapi, apa yang berlaku dalam realitas? Dari sekitar 23 juta penduduk kerajaan itu, enam juta adalah pecandu rokok berat. Tidak kurang dari 12 milyar riyal (sekitar 28,8 triliun) dihabiskan pecandu rokok ini saban tahun.
Untung ayahku bukan seorang perokok, beliau selalu menjaga kesehatan. Saat makan di luarpun bisa dibilang tidak pernah membeli ayam, karena ayah takut kalau-kalau ayam itu saat disembelih tidak dengan menyebut nama Allah, bukannya suudhon tapi hanya mencegah dari yang tidak diinginkan makanya saat diajak makan sama pak Ahyar aku lebih memilih tempe. Sehingga jika ingin makan ayam biasanya keuarga kami menyembelih sendiri.
Tak terasa perjalananku di kelas tiga ini terasa begitu sangat cepat, karena tiap pulang sekolah selalu sore dengan adanya les-les tambahan belum lagi kegiatanku sendiri di rumah, membantu di tempat butik ibu, dan harus belajar untuk persiapan ujian. Bismillah, niatku tholabul ’ilmi. Man jadda wa jada.

* * *

Suasana kelas hening, para murid kelas 3 SMA Mandala sedang sibuk dengan pergolakan soal-soal penentu kelulusan dan tentu saja untuk masa depan mereka. Pengawas terlihat benar-benar menjalankan tugasnya, mereka tidak ingin mengulang lagi kecurangan yang malah akan membodohkan para anak didiknya. Biarlah para murid menggunakan akal yang telah dianugerahkan sang Pencipta dengan sebaik-baiknya.
Berhari-hari para murid kelas 3 di SMA Mandala benar-benar menggunakan waktunya dengan baik, mereka sadar akan kewajibannya sebagai seorang penuntut ilmu. Walaupun hanya mengejar target nilai kelulusan tetapi setidaknya nilai itu diperoleh dengan sebuah kejujuran. Dan hal itu secara tidak langsung telah mengajarkan moral kepada mereka yaitu nilai sebuah kejujuran.
Pukul 03.15 kulangkahkan kakiku hendak ke kamar mandi, jaket masih melekat di tubuhku, entah kenapa akhir-akhir ini udara terasa begitu dingin padahal biasanya bulan-bulan sekarang musim kemarau, apa karena pemanasan global yang semakin parah ya..
Sempat kuurungkan niat untuk bangun dan tidur saja sambil menyelimuti badan agar hangat, tetapi Alhamdulillah godaan itu tak bisa mengalahkan keinginanku untuk slalu bersama Penciptaku.

Dia datang lagi…
Saat azam ingin kucapai
Kesepakatan laknat yang tlah dimuntahkan
Menjadi madu dalam racun yang mematikan
Tertindih dalam kepiluan yang perih
Tetapi kesegeraan bangkit buat mereka menggigil

Kekalahan belum berakhir katanya
Kemenangan sesaat kan jadi bumerang
Yang terus memicu kesenangan tersendiri

Bagai bongkahan keras, kasar dan besar
Sebagai duri perjalanan yang sulit diterjang

Dia datang lagi…
Sanggupkah jasad hidup ini terus menghadapi?
Keyakinan yang dipercaya bukan hanya sebuah teori
Menjadi usaha dalam suatu aksi
Yang hakiki dan penuh arti

Dia datang lagi…
Bisikan-bisikannya yang lembut
sarat dengan kelicikan
Hati ini meronta kesakitan
Yang pada akhirnya tak kuasa menahan
Segala kebaikan dibalik kejamnya buaian
Si penanti siksa jahannam

Selesai berwudhu tak lupa kuberdo’a, badanku menggigil, jaket yang kucopot saat wudhu tadi kini sudah melekat lagi, kuarahkan langkahku ke kamar ibu untuk membangunkannya. Belum sempat kubuka pintu, sudah kudengar isak tangis ibu, ternyata beliau sudah bangun, kubuka pintu pelan-pelan, kulihat beliau sedang berdoa sungguh-sungguh. Kuusap air mata yang tiba-tiba menetes di pipiku ini, tetaplah istiqomah bu.. Aku bangga dengan sosok ibu, jika sudah meyakini sesuatu dan memang mantap dalam hatinya beliau akan melakukan apa saja demi keyakinannya itu. Mari kita mantapkan Qiblat cinta kita bu.
Sekarang adalah hari penentu lulus tidaknya para murid kelas 3, sebetulnya masih 3 hari lagi tapi kemarin ada pengumuman hari penentu kelulusan diajukan, yah mungkin lebih cepat lebih baik dari pada harus menunggu lebih lama.
Halaman sekolah terlihat sangat ramai, para murid kelas 3 semua berkumpul. Alhamdulillah SMA Manggala kelas 3 lulus 100 %. Setelah kuketahui hasil dari kelulusan ini kulangkahkan kakiku ke ruang kepala sekolah. Kulihat wajah Pak Wandi sangat cerah.
”Bagaimana pak?” Tanyaku saat telah berada dihadapan beliau.
”Semua akan berhasil jika memang ada usaha, kita tidak boleh pesimis karena Allah pasti akan memberikan apa yang hambanya ingin jika memang ada usaha.”
”Innallaha laa yughayyiruma biqoumin hatta yughoyyiruuma bianfusihim. Seungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri.”
Malamnya, Yusuf datang ke rumah. Aku tidak menyangka dia akan datang karena sebelumnya dia tidak menyinggung perihal akan kedatangannya saat bertemu di sekolah tadi. Ibu menyambut ramah kedatangan Yusuf yang tiba-tiba itu. Mereka terlihat sudah sangat akrab. Entah kenapa hatiku berdesir hebat, tak pernah aku marasakan perasaan seperti ini. Saat mata kami bertatapan gejolak hatiku mulai merasakan sesuatu yang aneh tapi indah. Ah.. apa ini.. aku belum cukup umur untuk memikirkan hal-hal seperti ini. Perjalananku masih panjang untuk memperolah keberhasilan. Aku tidak mau rasa ini malah akan menghambat segalanya. Oh.. God help me…
Setelah berbincang agak lama Yusuf menanyakan kembali apakah aku jadi nyantri apa tidak, jika memang jadi dia akan memberitahukan pesantren mana yang mungkin lebih cocok untukku dan sebisa mungkin akan membantu mengurus pendaftaran dan lain sebagainya sebab Yusuf kenal dekat dengan pengasuh di pondok tersebut. Lagipula dia tidak punya banyak waktu lagi karena juga harus mengurus bea siswa dan menyiapkan keberangkatannya ke kairo, ternyata Yusuf akan melanjutkan di Universitas Al-Azhar.
”Wah.. kamu hebat Yusuf, aku salut dengan prestasi kamu.” Pujiku pada Yusuf.
”Ah.. semua orang pasti bisa jika dia mau berusaha, kamu pun bisa Maryam tapi memang mungkin kita punya tujuan masing-masing yang harus dijalani. Sebenarnya aku malah tidak ada apa-apanya dengan kamu, nyatanya kamu bisa memenangkan olimpiade di Azerbaijan padahal jurusannya tidak nyambung.”
Kami semua tertawa, ”Tapi kan ide rumah kaca itu yang membuat kita menang dan itu dari kamu, kalau tidak, apa yang akan diujicobakan?”
”Sudah-sudah.. kalian semua hebat kok,” ibu menengahi, ”Itu semua berkat kerjasama kalian yang kompak.”
”Ting tong.. Assalamualaikum,” bel rumahku berbunyi.
Aku hendak berdiri, ”Sudah biar ibu saja..” kata ibu sambil beranjak menuju pintu yang tidak begitu jauh dari tempat kami duduk.
”Accalamualaikuuum..” suara anak kecil dengan aksen cedalnya membuatku menoleh.. Umar dan Utsman langsung berlari dan memelukku.
”Hallo kaak.. Waah.. kak Malyam lagi ngapa hayoo..” tanya umar sambil senyum-senyum.
”Ini pacalnya kak Malyam yaaa,” ucap Utsman. ”Kata ayah kita tidak boleh pacalan lo.. kan masih kecil.” Aku senyum-senyum saja dengan tingkah kedua keponakanku yang lucu-lucu ini tapi sekaligus tersindir dengan omongan mereka, tapikan aku tidak pacaran, hanya menyambut kedatangan tamu, batinku tidak mau kalah. Kulihat Yusuf menikmati pemandangan anak-anak yang ada di depannya sekali-kali tangannya mengelus kepala dua bocah itu.
”Tapi kak Malyam kan udah besar jadi boleeh..” tukas Umar.
”Gitu yaa..” utsman menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal berlagak mengerti. Kami semua tertawa.
”Ada apa nih kok malam-malam kesini..” tanya ibu pada Paman Ali.
”Dari tadi Umar dan Utsman merengek pengen main kesini, kangen sama Maryam katanya.” Jawab paman Ali.
”Iya.. padahal saya sudah menjanjikannya untuk datang besok pagi tapi mereka tetap memaksa,” lanjut tante Fathimah istri paman Ali.
”Sepertinya saya pernah melihat anda.. tanya paman Ali, oh.. iya.. aku baru ingat anda yang ikut lomba bersama Maryam ya.. ”
”Benar.. paman,” jawab Yusuf. ”Ehmm.. sebenarnya.. kulihat ekspresi wajah Yusuf berubah agak tegang. Sebenarnya maksud kedatangan saya ini ingin mengatakan bahwa, saya.. saya.. saya suka dengan Maryam.”
”Jgerrr..” seakan ada petir menyambar, apa aku tidak salah dengar dengan yang dikatakan Yusuf tadi? Berani sekali dia.. aku jadi salah tingkah karena semua mata bergantian memandang kearah aku dan Yusuf. Aku diam tidak bisa berkata apa-apa.
”Sebelum saya berangkat untuk menuntut ilmu di Cairo saya ingin sudah mempunyai calon, sehingga saya dapat lebih konsentrasi belajar di sana, tidak memikirkan masalah ini lagi dan setelah selesai menuntut ilmu saya akan menikahi Maryam, itu jika Maryam mau menunggu.” Kata yusuf sambil menundukkan wajahnya. Saya memilih Maryam bukan karena apa-apa tapi saat saya sholat istikharah keinginan untuk mengatakan ini semakin mantap. Walaupun mungkin saya memang tidak cocok untuk Maryam yang punya segalanya, sedangkan saya hanya anak orang desa.
”Wah.. kak Malyam mau menikah lo.. tiba-tiba Utsman yang tadi bermain tidak jauh dari kami mendekat dan kembali berceloteh.
”Nggak boleh, kak Malyam nanti halus nikah sama aku dan nunggu aku kalo gede..” kali ini Umar yang bicara. Suasana menjadi agak cair.
”Bagaimana Maryam.. semua keputusan ada ditangan kamu,” tanya ibu.
”Saya.. ikut keputusan ibu saja..” jawabku sekenanya karena bingung harus menjawab apa.
”Kalau masalah seperti ini ibu tidak bisa memutuskan karena urusan hati hanya bisa diserahkan pada yang punya hati nanti kalau salah malah akan menyesal,” jawab ibu bijak.
”Mungkin kata-kata ibu kamu benar Maryam, semua ada di tangan kamu. Kalau bersedia ya bilang bersedia kalau tidak ya bilang saja tidak. Ucap paman tegas.”
Kali ini aku yang kebingungan, Yusuf terlihat tegang dan menunggu keputusanku. Bismillah semoga keputusanku ini benar.
”Maaf, saya tidak bisa.. Yusuf langsung mendongakkan wajahnya kearahku kaget dengan apa yang baru saja kukatakan. ”Saya tidak bisa menolak” lanjutku kemudian. Seutas senyum langsung bertengger dibibirnya yang merah. Hatiku berdesir hebat.
”Alhamdulillah..” jawab Yusuf lirih.
Setelah itu kami masih melanjutkan dengan bincang-bincang tentang maksud Yusuf itu. Dan paman Ali menganjurkan walaupun kami sudah mengadakan perjanjian tetapi jangan gunakan perjanjian ini untuk hal-hal yang tidak benar. Jika ingin bersama kita harus mau menunggu sampai waktunya tiba. Jika Allah memang menuliskan jodohku adalah Yusuf di Lauh Mahfudh, aku hanya ingin mempunyai sebuah keluarga yang utuh, sakinah, mawaddah, wa rohmah dan dia juga menjadi jodohku di akherat nanti. Tetapi jika bukan dia jodohku, mau tidak mau aku harus menerima karena hanya Dia yang tahu maksud sebenarnya. Semua masih misteri.
Seminggu kemudian setelah mempersiapkan semuanya dengan matang, ibu, paman Ali, istrinya dan 2 keponakanku yang lucu-lucu itu ikut mengantarkan aku ke sebuah pondok pesantren yang telah di beritahu oleh Yusuf. Tidak sulit menemukan tempat tersebut karena Pondok Pesantren itu memang sebuah pesantren besar yang terkenal dan Yusuf telah memberitahu rute-rutenya secara detail. Saat memasuki pelataran luas pondok yang bernama Pondok Pesantren Roudlatul Muta’alimat itu terlihat seseorang lelaki berpakaian koko dengan sarung kotak-kotak dan berkopyah putih keluar. Wajah itu tak asing bagiku. Dia adalah Yusuf. Tapi mengapa ada di sini? Bukankah harus mengurus keberangkatanya di kairo? Batinku bertanya-tanya. Dengan berpenampilan seperti itu Yusuf terlihat sangat menawan, inikah calon suamiku nanti. Ah.. sudahlah.
Yusuf mempersilakan kami duduk di ruang tamu dan kemudian masuk ke dalam. Sesaat kemudian muncul seorang wanita dan lelaki dan yang kuyakin adalah pengasuh di pondok ini.
”Abah.. umi… ini adalah seseorang yang saya ceritakan itu.” Yusuf membuka pembicaraan setelah kami semua berkumpul, Umar dan Utsman terlihat asyik berlari-larian di pelataran. Aku kaget mendengar Yusuf memanggil pengasuh di pesantren ini dengan sebutan itu. ”Oh.. iya perkenalkan ini abah dan umiku,” kata yusuf memperkenalkan.
”Jadi.. ini pondoknya Yusuf?” Tanya ibuku kaget sekaligus penasaran karena saat berbincang-bincang dulu Yusuf tidak mengatakan pondok yang diberitahukannya adalah pondok milik kedua orang tuanya. Apalagi ini… banyak sekali hal-hal yang membuatku tidak mengerti dan disembunyikan Yusuf. Berarti dia seorang gus dong, desisku lirih. Istrinya gus berarti ning, ah pantaskah sebutan itu nanti dipredikatkan ke aku kalau memang nantinya aku jadi dengannya… pantas dia tahu banyak tentang pesantren.
Kami berbincang-bincang agak lama, membicarakan apa saja kegiatan yang ada di pondok, peraturan-peraturan yang harus ditaati dan lain sebagainya, tapi sama sekali tidak menyinggung masalah pribadi antara aku dengan Yusuf. Saat kami sedang berbincang-bincang muncul seorang wanita cantik membawa suguhan minuman dan makanan untuk kami. Yusuf membantu wanita itu menyuguhkan, terkadang kulit mereka bersentuhan. Aku sempat su’udhon mereka kan bukan mahram tetapi akhirnya kuketahui juga karena ternyata wanita itu adalah kakak Yusuf. Mengapa aku tidak menyadari kemiripan mereka? aku menyalahkan diri sendiri. Setelah semua dirasa cukup akhirnya orang-orang yang menyertaiku tadi bersiap-siap pulang. Kami semua menuju pelataran, abah dan umi Yusuf ikut mengantarkan kepergian mereka sampai pintu gerbang. Yusuf berjalan tidak jauh dariku.
”Gus..” panggilku.
Yusuf menoleh dan mengerutkan keningnya, mungkin heran dengan predikat baru yang kuberikan padanya.
”Ada apa ning..” jawabnya kemudian sambil tersenyum. Kini giliranku yang mengerutkan kening. Ning.. duh panggilan itu tidak pantas untukku.
”Katanya mau berangkat ke kairo?” Tanyaku kemudian.
”Insyaallah nanti malam. Doakan ya biar nggak menjadi mahasiswa abadi, ntar ningnya keburu sudah diambil yang lain… mungkin sekarang sekalian pamit,” jawabnya kemudian. Aku tersipu. ”Semoga kamu betah di sini dan berhasil meraih apa yang kau cita-citakan, aku yakin kamu pasti bisa ning, barakallah.”
Setelah sampai di pintu gerbang, ibu memelukku, mencium kedua pipiku dengan linangan air mata.
”Semoga kamu berhasil meraih cita-citamu Maryam.” Umar dan Utsman menangis dan menarik-narikku agar kembali bersama mereka. Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya keluar karena sudah tak bisa membendung lagi. Paman Ali dan istrinya lalu menggendong kedua bocah tersebut dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Setelah semuanya pulang. Kakak Yusuf lalu mengantar dan ikut membawakan barang-barangku ke kamar yang akan ku tempati.
”Santri di sini jumlahnya berapa kak zulaikha?” Tanyaku saat berjalan menuju kawasan para santri.
”Sekitar 500 lebih.. dan itu jumlah keseluruhan dengan santri putra.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku hanya manggut-manggut.
Kurasakan berpasang-pasang mata memperhatikanku dan berbisik-bisik sesuatu. ”Eh ada anak baru tuh…” sayup-sayup kudengar suara itu.
”Cantik ya.. kira-kira kamarnya dimana…
”kayaknya bukan orang Indonesia, wah harus pakai bahasa Inggris dong, aku kan gak bisa.
”Pakai bahasa isyarat aja.. yang lain menimpali, lalu tertawa.
Kulewati kolam untuk mencuci kaki, kata kak Zulaikha namanya kuen. Setelah itu kami masuk di kamar Al Hikmah, ternyata inilah kamar yang akan kutempati dan mengiringi perjalananku meraih cita-cita.
Seharian penuh aku diajak ngobrol oleh santri-santri baik dari kamar Al Hikmah sendiri, atau kamar-kamar yang lain. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Ada yang mengira aku tidak bisa bahasa Indonesia sehingga mengajak berkenalan dengan bahasa Inggris yang belepotan, aku hanya tertawa dan menjawabnya dengan bahasa Indonesia, spontan dia kaget dan malu.
”Hhhhhh..” kuhela nafas panjang, capek sekali. Kurenggangkan ototku yang pegal-pegal, seharian ini aku belum istirahat. Alhamdulillah tadi kak Zulaikha dan santri-santri lain membantuku menata baju dan bermacam-macam barang yang kubawa dari rumah, sehingga mengurangi bebanku. Ingin sekali mata ini terpejam tetapi entah mengapa seakan-akan ada sesuatu yang menghalangi padahal jam sudah menunjukkan pukul 01.00, biasanya aku sudah tidur jika di rumah. Ibu sedang apa ya.. aku kangen sekali. Saat memikirkan rumah, tak terasa mataku akhirnya terpejam. Tetapi baru beberapa menit kurasakan ada yang memanggil-manggil namaku dan menggoncangkan tubuhku. Kupaksakan membuka mata yang hampir saja akan tenggelam dalam dunia maya ini. ”Oh.. kak Zulaikha ada apa kak?” Tanyaku sambil berusaha duduk.
”Maaf mengganggu waktu tidur kamu, ini ada titipan dari Yusuf, tadi sewaktu di Bandara dia menyerahkan surat ini pada kakak, tapi tolong setelah dibaca langsung dibakar ya.. jangan disimpan.” Ucap kak Zulaikha setengah berbisik. ”Kalau bisa dibaca sekarang saja. Aku tunggu mumpung anakku masih tertidur, biasanya pada jam-jam segini dia akan terbangun dan menangis.”
”Ditinggal juga tidak apa-apa kok..”
”Ya sudah kalau begitu kakak tinggal ya… tapi jangan lupa pesanku tadi.”
”Baik kak..” kubuka pelan-pelan surat yang dititipkan Yusuf pada kak Zulaikha.

Tuk: “Ning” Maryam

Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.
Saat kutulis surat ini entah rasa apa yang telah hinggap dalam kalbuku. Sebelum engkau telusuri jejak huruf dalam lembar yang rapuh ini, terimalah salam terindah, salam kesejahteraan, dan salam seharum wangi kesturi yang memberikan keharuman bukan hanya bagi pemiliknya tapi juga orang-orang disekitarnya.
Wahai bidadari dunia anggaplah sekarang seorang pangeran yang sedang menunggu dengan perjalanan tholabul ‘ilmi ini berada dihadapanmu. Berharap akan sebuah kesetiaan, kasih dan cinta yang tidak akan pudar seiring musim maupun peristiwa sehingga kita dapat merajut sebuah impian yang bukan hanya menjadi bunga tidur tetapi kan kita wujudkan menjadi sebuah realita yang harus dijalani sampai nanti jasad kita tidak berada di alam yang fana ini.
Sebelumnya, afwan ning jika kedatangan surat ini telah mengganggu waktu engkau melepaskan segala keletihan sejak tadi. Ukiran relief huruf yang telah tersusun ini bukanlah susunan yang indah tetapi kuharap dapat mewakili gejolak dada yang telah membuatku terkadang ingin mengurungkan niatku pergi dari tanah kelahiranku ini untuk tetap bersamamu. Ning.. aku sangat bersyukur karena ternyata Allah masih sayang padaku dan tidak membiarkan syaithan menjerumuskanku tenggelam dalam rasa yang belum saatnya dapat dipersatukan karena tujuan, cita-cita mulia dan kepentingan yang harus kita raih.
Wahai bidadari dunia yang cantiknya di surga nanti kan berlipat-lipat dibanding bidadari di sana karena sebuah ibadah karena Allah. Telah kuceritakan perihal tentang engkau pada umi, abah, dan kakakku Zulaikha, tidak ada yang tahu selain mereka. Tetapi mereka tidak akan menganak emaskan engkau di pesantren. Mereka tetap akan menganggap engkau sebagaimana santri lain dalam menuntut ilmu agar tidak menimbulkan rasa iri. Biarlah mereka tahu jika kita telah bersatu. Bersungguh-sungguhlah ning.. gus juga akan berusaha sebaik-baiknya.
Ning… aku ingin cinta kita dapat bersatu sampai di akherat nanti. Muhammad dan Maryam, akan menjadi sepasang sejoli yang saling memadu kasih. Tidak ada yang dapat memisahkan. Aku tidak ingin cinta kita seperti Laila dan Majnun yang tidak dapat dipersatukan di dunia dan harus mereka pendam sampai ajal menjemput mereka, biarlah seperti khusrau dan Syirin yang dengan penuh rintangan dan hambatan akhirnya dapat bersatu walaupun akhirnya mati, tetapi setidaknya mati adalah awal perjalanan panjang yang kan mengantarkan kita pada gerbang taqdir kebersamaan.
Mungkin sampai di sini rangkaian huruf yang kan kuukir dan menjadi penghias sementara memori akalmu.
Sampai bertemu lagi saat mimpi kita telah terwujud, aku kan setia menunggumu ning, kuharap engkau juga demikian.
Jika ada salah kata kuharap pintu maaf darimu, karena manusia tidak akan luput dari sebuah khilaf.
Wassalamu’alaikum

”Gus” Muhammad Y.

Tak terasa air mataku mengalir, cepat-cepat kulipat surat dari Yusuf. Aku bangkit dan langsung menuju ke dapur untuk membakar surat ini walaupun sebenarnya ingin sekali kusimpan sebaik-baiknya sebagai motivatorku dalam meraih cita-cita, Yusuf sungguh beruntung, dia dapat menuntut ilmu di Cairo dengan bea siswa karena hafalan Al-Qur’annya. Tapi aku tidak akan kalah, aku juga akan berusaha sebaik-baiknya.

Remajaku terasa indah
Saatku hanyut dalam drama cinta
Rentetan huruf penuh makna
Terangkai indah menjadi sebuah
Sajak yang mengatasnamakan cinta
Semua itu bukan bualan belaka
tetapi diary hati kekasih
yang telah terbaca
Lewat kata-kata.

Hari-hari yang kulalui di pesantren seakan penuh makna. Aku benar-benar menikmati keberadaanku menuntut ilmu disini. Kegiatan-kegiatan disetiap waktu kurasakan sangat bermanfaat, dari menelaah kitab kuning bersama-sama yaitu dengan kyai membacakan makna kitab dan santri mendengarkan serta menulis makna yang telah disampaikan kyai dan kami biasanya menyebut ngaji bandongan atau dengan cara satu persatu yang langsung disetorkan dihadapan kyai atau sorogan, lalu kegiatan dzibaiyah maupun barzanji yang terkadang diselingi sholawat untuk mengagungkan junjungan kita Muhammad disetiap malam jum’atnya, serta mengaji Al-Qur’an bagi santri bin nadhor dan bil ghoib, nariyahan dengan hitungan batu, dan banyak lagi. Kamarku berhadapan langsung dengan ndalem kyai sehingga setiap kegiatan kami dapat terpantau. Jumlah santri di kamarku lebih sedikit dibanding kamar-kamar lain yaitu hanya 27 sedangkan yang lain sampai 50-an, tetapi kekompakan yang ada di kamar kami lebih dari yang lain. Kesabaran, kemandirian, kepekaan terhadap sesama, dapat diperoleh lewat pesantren. Aku merasa sangat beruntung menjadi santri.
Ayo.. ro’an-ro’an.. teriak mbak Fitri mengajak para santri untuk kerja bakti, dia adalah sie kebersihan. Di pesantren istilah ro’an sudah memasyarakat. Biasanya tiap kamar dibagi tugas untuk membersihkan tempat yang sudah tertulis dalam jadwal. Para santri sangat senang jika mendapat jatah piket di halaman Masjid karena dengan begitu mereka bisa keluar pondok walaupun letaknya hanya di samping pesantren persis. Yah.. pesantrenku ini sangat salaf, dan tidak memperbolehkan santri keluar sembarangan, harus matur dulu, jika dekat ya dengan keamanan tetapi jika jauh dan membutuhkan sebuah kendaraan walaupun itu becak harus matur dulu ke ibu nyai yang kita panggil umi, itupun belum tentu umi memperbolehkan karena saat matur harus sudah mempunyai alasan yang kuat.
Pada jam-jam piket dihalaman Masjid itulah biasanya rombongan santri putra lewat untuk berziarah menuju ke makam Sunan Kudus dan setelah itu ke makam Simbah Kyai Arwani Amin, seorang ulama yang disegani oleh banyak orang bukan hanya di daerah Jawa tetapi juga daerah lain, beliau dulu pernah mondok di Krapyak Yogyakarta. Untuk menuju ke makam itu rombongan santri harus lewat di jalan depan Masjid. Teman-temanku yang mendapat jatah piket menyapu halaman Masjid dan menyirami tanaman disekitarnya biasanya langsung pasang aksi agar kelihatan rajin dengan menyapu atau mengerjakan hal-hal lain. Aku kadang tertawa sendiri melihat kelakuan mereka. Dan alhasil antara santri putra dan putri saling mencuri pandang. Hanya sebatas itu, tidak lebih. Di pesantren akhlaq harus dijaga, mungkin jika tadi yang lewat adalah preman, mereka sudah bersiul-siul atau mengganggu dengan segala macam banyolannya, atau malah lebih dari itu, aku begidik, untung mereka bukan preman. Yang kuharap semoga nanti walaupun sudah keluar dari pondok akhlaq para santri masih terjaga.
Setelah selesai piket kami harus mengantri mandi dan menunggu air di bak atau kami biasanya menyebut kulah penuh dulu. Setelah itu kami harus mengikuti simaan juz ’amma dengan membentuk lingkaran saat duduk, bagi yang telah khatam juz ’amma ikut bergabung dalam lingkaran itu tetapi jika belum duduk di tengah dan membawa Al-Qur’an untuk menyimak saat santri mendapat giliran menghafal juz amma itu, biasanya satu ayat- satu ayat sehingga dapat rata dan kebagian satu surat jika memang ayatnya agak panjang.
Di pesantren, aku sangat jarang keluar, paling-paling saat mengaji di tempat Kyai Dhofier yang letaknya di dekat Menara Kudus, setelah itu langsung pulang dan memuroja’ah lagi surat-surat yang sudah kuhafal. Waktu pagi ba’da shubuh adalah jatah kami menyetorkan hafalan baru yang telah dibuat, kepada bu nyai, lalu ba’da dzuhur juga merupakan kesempatan untuk menyetorkan hafalan baru tetapi bagi santri-santri yang memang siap dan ingin cepat khatam atau selesai dalam menghafal. Sedangkan ba’da isya merupakan waktu untuk menyetorkan ulang hafalan-hafalan yang telah lalu, biasanya sampai 2,5 lembar, ½ juz atau bahkan 1 juz, sehingga kami harus sabar mengantri.
Tidak selalu konsentrasi saat menghafal hadir dalam diri sehingga aku harus selalu berusaha dapat menumbuhkannya. Disaat-saat konsentrasi itu sulit sekali hadir, terkadang terbersit fikiran untuk mengakhiri saja dalam menghafal Qur’an tapi itu hanya angan sesaat karena memang pikiran semacam itu sering muncul pada seorang penghafal Qur’an sehingga aku harus pandai-pandai menata hati. Hal yang paling dapat mengganggu pikiranku adalah tentang Yusuf, saat bayang-bayang wajahnya muncul aku tidak dapat memusatkan konsentrasiku. walaupun begitu Alhamdulillah sekarang aku telah mendapat 26 juz, tinggal 4 juz lagi. Aku harus dapat ikut khataman pada tahun ini, dan setelah itu tabarrukan atau melancarkan hafalan-hafalanku.
Tak terasa sudah hampir 2 tahun aku tidak pulang ke rumah. Entah bagaimana kabar Yusuf di Cairo sana, aku tidak tahu. Semoga dia sehat-sehat saja. Ibu, paman Ali dan yang lainnya setiap bulan datang menjenguk dan membawa oleh-oleh yang pasti nantinya akan menjadi harapan teman-temanku dan kita santap bersama-sama.
Di pesantren kaya miskin sama saja, tidak ada perbedaan. Abah dan umi Yusuf sangat ramah dan sama sekali tidak pernah menyinggung masalahku dengan Yusuf, mereka takut salah berbicara satu kalimat saja dan ada yang mendengar bisa-bisa semuanya tahu. Mereka sangat bijak. Mungkin hanya aku santri yang selama ini tidak pernah pulang. Biasanya para santri yang sekolah atau yang tidak sekolah, menghabiskan waktu liburannya atau saat libur hari raya iedul fitri di rumah, hanya aku yang tetap di pesantren ini. Sebenarnya rindu untuk pulang kerumah sudah sangat membuatku tersiksa, tetapi aku ingin pulang jika telah berhasil mewujudkan impianku. Dan menyelesaikan target sesuai peta hidup yang telah kurancang. Ibu dan yang lain juga sangat mengharapkan aku pulang, tetapi mereka dapat mengerti setelah kujelaskan. Jika sudah tidak ada santri di pondok, bu nyai menyuruhku untuk tidur di ndalem dan kak Zulaikha dengan senang hati mengajakku untuk tidur di kamar dengannya. Awalnya aku menolak tetapi dia terus memaksa karena ingin ada teman ngobrolnya. Lagipula Umi Hanifah yang merupakan ibu Yusuf juga telah menyuruhku untuk tidur bersama Kak Zulaikha. Sedangkan suami Kak Zulaikha yang bekerja di Luar Jawa baru akan pulang pada waktu mendekati Lebaran. Kami begitu akrab, mereka menganggapku sebagai keluarga sendiri. Terkadang saat bangun tidur, di meja Kak Zulaikha sudah tersedia 2 susu sapi dan yang menyiapkan adalah bu nyai sendiri. Jika tidak ada santri lain memang terkadang sedikit-sedikit tentang Yusuf dipertanyakan. Seperti bagaimana awal bertemu, lalu bagaimana sikap Yusuf di sekolah, dan yang membuatku salah tingkah adalah bagaimana perasaanku terhadap Yusuf. Aku hanya tersenyum tidak menjawabnya. Ah.. gus Muhammad Yusuf.
Senja terlihat kemerahan bercampur dengan warna langit yang pucat. Arakan putih berlalu pelan-pelan tanpa henti. Tokek bersenandung sembilan kali. Malam tiba. Setelah bersama-sama membaca surat Al-Mulk yang memang wajib dibaca oleh para santri ba’da sholat isya’ kulipat rukuhku, jika ba’da shubuh surat yang rutin dibaca secara bersama-sama oleh santri adalah surat Al-Waqi’ah, banyak sekali faedah dari surat-surat tersebut apalagi jika istiqomah dibaca. Sekarang aku dan tentunya teman-teman yang lain bersiap-siap untuk mengikuti nariyahan, sebelumnya santri-santri yang sedang haidh mempersiapkan batu untuk hitungan kami dalam membaca sholawat nariyah itu. Batu yang dipersiapkan berjumlah 1111 dan setiap batunya dibacakan 4 kali sholawat nariyah sehingga totalnya nanti 4444, kegiatan rutin ini dilakukan setiap malam selasa dan yang memimpin adalah bapak kyai Ahmadi yang merupakan ayah Yusuf. Jika hari-hari biasa selain malam jum’at dan malam selasa seperti kali ini biasanya kami mengikuti semacam sekolah dan aku mengikuti yang setaraf dengan perguruan tinggi. Saat kegiatan nariahan, sebelumnya abah memberikan tausiyah-tausiyah yang sangat bermanfaat dan dapat menyentuh hati kami. Beliau sangat pandai dalam hal agama sehingga tidak heran jika tiap hari tamu-tamu beliau sangat banyak yang datang untuk sekedar bertanya, menjaga silaturrahim atau memang benar-benar sedang menghadapi masalah berat. Dan kyai Ahmadi menerima mereka dengan tangan terbuka tanpa pilih kedudukan, semua beliau perlakukan sama.
”Kak Maryam makan yuk…” ajak Ainun yang merupakan teman akrabku. ”Itu lho… zuro’ah, Ema, kak Ria, kak Nurul sama kak Sumiati sudah pada nunggu,” lanjutnya. Mushaf yang baru saja kubaca kututup dengan penuh hormat lalu kucium. Ajakan Ainun membuatku sadar bahwa sekarang adalah waktu makan. Itulah kebersamaan yang kurasakan di pondok. Untuk urusan makan, kami telah membuat jadwal untuk mengambil secara bergantian, biasanya santri-santri berkelompok dan makan bersama-sama. Lauk sekedarnya menjadi menu utama.
Di pesantren, kami diajarkan agar bisa hidup prihatin. Yang kuherankan menu untuk umi dan abah tidak beda dengan kami. Sebetulnya waktu itu santri ndalem yang memang bertugas untuk memasak bagi para santri dan tentunya ndalem sudah membuatkan menu khusus selain yang sama dengan santri, tetapi keluarga ndalem tidak menjamahnya sama sekali, malah diberikan kepada fakir miskin. Tidak heran jika kami para santri sangat mengagumi dan beruntung dapat nyantri di pondok yang terletak di kota santri, kota Kudus ini. Terimakasih gus, sudah menunjukkan tempat ini.
Sewaktu menjadi santri baru aku sempat tidak betah juga karena bacaan suratku tidak dinaik-naikkan, dan waktu itu aku memang belum diizinkan untuk menghafal Al-Qur’an karena harus melalui proses ini dulu. Sore hari kami diwajibkan untuk ikut mengaji di pesantrennya almarhum simbah Arwani dan di ajari oleh santri yang sudah senior di sana. Tempatnya yang kecil menjadi sangat sesak jika waktu mengaji datang. Bukan hanya dari pesantrenku tetapi juga dari pesantren lain. Ustadz yang mengajar ngaji itu berada di balik ruangan yang berbeda walaupun tidak begitu jauh dengan kami dan ditutup dengan pintu kecil yang terkadang dibuka hanya untuk membenarkan bacaan mengaji santri yang salah seperti mencontohkan bagaimana mulut harus disesuaikan dengan bacaan yang ada dalam Al-Qur’an yaitu dimonyongkan, meringis, dibuka dan lain sebagainya. Sehingga santri yang notabene belum bisa mengaji harus bersabar jika ingin dinaikkan suratnya seperti aku waktu itu. Yah.. semua memang butuh proses, manusia memang suka yang instan tetapi untuk menuju instan itu manusia juga membutuhkan suatu proses. Dan proses itulah yang mengantarkanku pada akhir sebuah perjuangan sementara yang akan kulanjutkan lagi.
Saat ini aku sedang memusatkan seluruh memori otakku agar dapat menampung isi firman-firman suci. Yah… Alhamdulillah… aku sekarang sudah sampai juz 29 seperempatan terakhir. Tidaklah terlalu lama bagiku untuk merampungkan juz 30, karena sebelumnya memang aku sudah menghafalnya di saat awal nyantri dan menabung saat sebelum tinggal di pesantren. Sebentar lagi aku akan disimak bersama para calon santri lain yang ikut khataman tahun ini. Kebetulan aku dapat undian nomor 3 sedangkan jumlah santri yang khatam Al-Qur’an atau biasa disebut para khotimat berjumlah 21 orang. Kugunakan waktuku sebaik-baiknya untuk nderes.. nderes… dan nderes. Tiada waktu lagi untuk memikirkan yang lain. Aku tidak ingin saat disimak nanti tidak lancar.
Biasanya persiapan untuk sima’an dalam khataman ini yaitu para santri menyediakan satu botol aqua ukuran besar lalu dikumpulkan di depan orang yang disimak itu, dengan tutup terbuka. Kami percaya pasti ada barokah dari bacaan kalam suci ini. Apalagi nanti aqua ini akan dibacakan 21 kali khataman. Sungguh air ini akan sangat mengandung muatan-muatan kekuatan doa yang sungguh luar biasa. Para santri termasuk aku biasanya menyisihkan sedikit air itu untuk diri sendiri kemudian sisanya dibawa pulang untuk para keluarga agar bisa dapat barokahnya.
Lafal demi lafal kuucapkan dengan penuh perasaan. Kunikmati alunan nada yang keluar dari mulutku dengan pengeras suara yang pasti suaranya bisa didengar orang-orang termasuk juga santri-santri putra. Warga sekitar yang tinggal tidak jauh dari pesantren inipun pasti kuyakin akan mendengar juga. Suasana syahdu menyelimuti ragaku, kadang aku tergugu jika melafalkan ayat yang maknanya sangat menyentuh kalbuku. Sekarang memang giliranku untuk disimak. Ba’da shubuh tadi para santri sudah mulai menekuri ayat-ayat suci yang aku lafalkan. Suaraku sudah mulai agak serak. Wedang jahe, air jeruk dan air putih tersedia di meja hadapanku untuk menghangatkan tenggorokanku yang mungkin lelah karena dari tadi pagi sudah mulai beraksi dalam moment mulia penuh arti ini.
Ba’da sholat isya’ kuteruskan lagi sima’an yang sudah dari pagi dimulai. Tinggal sedikit lagi. Setelah sampai juz 30 pada surat Al-Ikhlas kami semua menghadap Qiblat. Dengan Qiblat cinta yang sama ini kami semua tenggelam dalam suasana yang tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Hatiku serasa sejuk. Pikiranku hanya tertuju pada Sang Qiblat Cinta. Kami semua melantunkan tahlil. Setelah itu kubaca do’a khotmil Qur’an. Kuawali dengan ta’awudz, basmalah, hamdalah lalu sholawat.
“Alhamdulillahirobbil ‘alamin hamdasyakirin hamdan na’imin hamdayyuafii ni’amahu wayukafiu wazidah…” do’a khotmil qur’an mulai kubaca. Disampingku umi Hanifah dan kak Zulaikha sudah duduk ikut bergabung. Aku terisak-isak saat membaca do’a ini, sampai-sampai tidak kuat untuk mengeraskan suaraku. Ribuan malaikat turun, walau tak terlihat tapi aku sangat percaya akan kehadirannya dan ikut mendo’akan manusia yang telah berhasil mengkhatamkan firman suci yang telah diturunkan kepada Sang Nabi Agung lewat malaikat Jibril. Sungguh aku tidak bisa melukiskan apa yang saat ini kurasakan, rasa bahagia, haru bercampur jadi satu. Santri-santri ikut terisak. Kudengar umi dan kak Zulaikha merasakan hal yang sama.
Setelah selesai membaca do’a, aku menyalami umi, beliau memelukku erat dan agak lama.
“Aku bangga padamu Maryam..” kata Umi dengan mengusap air mata yang keluar dari kedua bola matanya yang indah. Umi memang cantik mirip sekali wajah umi dengan Yusuf. Ah.. aku jadi teringat Yusuf. Gus aku telah menggapai cita-citaku, sekarang giliran kamu, batinku. Setelah itu kupeluk kak Zulaikha, dia mendo’akanku semoga aku dapat memelihara hafalan yang telah tersimpan dalam memori otakku ini. Dan aku mengamininya. Lalu teman-teman santri lain, mereka berebut ingin menyalami tanganku, ada yang minta ditiup kepalanya, ada yang membawa air aquanya dan minta ditiupkan pula. Walaupun aku merasa apa yang kuperoleh ini belum apa-apa, kepenuhi juga keinginan mereka. Aku tidak ingin mereka kecewa. Saat sedang istirahat kurasakan tubuhku begitu lelah, tapi aku menikmati kelelahan ini. Kata Ainun dan teman-teman yang menyimakku, aku hanya salah tiga. Alhamdulillah… semoga aku bisa menjaga hafalan ini.
Syukur slalu kupanjatkan agar Allah selalu memberikan yang terbaik untukku dan menuntunku agar selalu berada di jalan-Nya. Do’a untuk ibu, ayah dan keluarga tak lupa kupanjatkan. Esoknya yang disimak gantian santri lain, begitu seterusnya sampai selesai.
Setelah itu acara khataman pun digelar, kami maju dipanggung dengan seragam yang telah dibuat. Para wali santri datang untuk menyaksikan anak-anaknya yang ikut khataman termasuk ibuku. Setelah acara khataman selesai aku izin kepada umi untuk pulang. Beliau sepertinya sangat berat melepas kepulanganku. Saat berpamitan beliau sempat mencium keningku.
”Maryam… terimakasih telah masuk dalam kehidupan Yusuf.” Itu kata terakhir yang kudengar sebelum aku pulang. Aku izin kepada umi selama tiga minggu agar diperbolehkan melepaskan rindu yang telah lama kupendam karena 2 tahun tidak pulang. Padahal ketentuan pulang di pesantren adalah hanya 5 hari, tetapi beliau memaklumi apa yang kurasakan. Sehingga akhirnya memperbolehkan walau dengan berat hati. Banyak teman-temanku yang juga sepertinya berat kutinggalkan. Mereka kira aku akan boyong atau meninggalkan pondok dan tidak kembali lagi. Tetapi kuyakinkan kepada mereka bahwa aku hanya pulang untuk sementara karena setelah itu aku akan mengaji lagi di pesantren ini untuk melancarkan lagi hafalanku atau tabarrukan.
* * *

”Ema… aku pengen banget kayak kak Maryam, udah cantik, baik, rajin, ngajinya juga lancar banget, kaya lagi kurang apa coba… sungguh beruntung lelaki yang bisa mempersunting kak Maryam.” Ucap Ainun sambil melihat orang yang dikaguminya yang terlihat sedang memusatkan konsentrasinya dan menggumamkan ayat-ayat suci yang dicintainya.
”Ah… semua juga bisa kayak dia, yang penting berusaha aja…” jawab Ema dengan nada agak ketus.
”Ya.. ya.. aku tahu semua orang bisa, tetapi sejauh yang aku lihat sangat jarang aku menemukan orang berusaha sungguh-sungguh seperti kak Maryam. Oya… menurutku kak Maryam cocok deh dengan Gus Muhammad Yusuf putranya Bu nyai, diakan pinter, hafidz, tampan lagi… menurut kamu bagaimana?”
Ema tersentak, ”Kamu jangan terlalu mendramatisir… mau buat aku cemburu ya.. tahukan selama ini aku sangat mendambakan Gus Yusuf. Dia telah mengenalku, oya asal kamu tahu tidak semua wanita dikenal oleh gus Yusuf lho.. Dulu kita sering sekelas di Mts. Walaupun tidak begitu akrab karena memang dia sangat menjaga pergaulannya dengan wanita, tapi aku ingin dia tetap mengingatku. Lagipula aku nyantri di sini juga karena dia, eh.. malah orangnya ke Kairo sekarang, dan aku yakin dia tahu keberadaanku disini. Kau tahu beberapa minggu lagi aku akan segera mengajak kedua orang tuaku untuk mengatakan perasaanku ini kepada kedua orangtua Yusuf, agar mereka tahu dan kuharap mau menerimaku sebagai menantunya. Ucap Ema dengan mata menerawang.
Ainun tersentak.. ”Yang benar kamu… berani sekali.. Idealnyakan laki-laki yang harusnya bilang perasaannya kepada perempuan?”
”Aku tidak peduli.. kisah cinta Nabi Muhammad bersama Siti Khatijah saja yang mengawali dan mengungkapkan perasaannya dengan bantuan pamannya adalah Siti Khatijah. Kenapa aku tidak? Aku sangat mencintai Gus Yusuf Nun.. tidak ada yang bisa menggantikan kedudukannya.
”Eh.. pada ngobrol apaan kok sepertinya serius banget..” sapaku karena sudah merasa ngantuk setelah memuroja’ah hafalanku.
”Nggak apa-apa… nggak penting, lagian ini juga bukan urusan kamu…” ujar Ema ketus dan beranjak dari tempatnya meninggalkan aku dan Ainun.
”Nun.. Ema kenapa?” Tanyaku pada Ainun karena merasa ada sesuatu yang tidak beres pada sikap Ema.
”Nggak ada apa-apa kok.. kayak tidak tahu Ema saja, diakan orangnya memang seperti itu.”
“Emm..Nun, aku merasa kalau Ema sepertinya kurang suka sama aku..” kataku dengan tatapan mata kosong. ”Kita memang satu kelompok tetapi teman-teman yang lain tidak ada masalah apapun, hanya dia yang tiap kuajak bicara atau ngobrol selalu menghindar. Pernah saat kuajak bareng mengaji di tempatnya mbah Arwani, dia bilang, ”nggak ah… ntar kesaing, sama orang lain saja..” dan aku nggak tahu apa maksudnya.”
”Hhhh… Ainun menghela nafas panjang. Ternyata bukan hanya dengan Lily dia bicara seperti itu.” Desis Ainun pelan. Tapi jelas kudengar. ”Emang dia bilang apa dengan Lily?” Tanyaku penasaran.
”Dia bilang sama dengan apa yang dia katakan pada kak Maryam. Kak Maryam tahukan kalau lily anaknya cantik maksudnya Ema tidak mau bareng nanti cantiknya kesaing dengan kecantikannya. Menurutku Ema memang cantik tetapi kalau sifatnya seperti itu siapa yang suka. Nggak seperti kak Maryam udah cantik, pinter, baik, tidak sombong, suka menabung.. belum sempat Ainun meneruskan sudah kupotong ” dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… ha..ha..” kami tertawa bersama.
”Kamu ada-ada saja Nun… aku belum bisa apa-apa… masih sedikit ilmuku, fisik bukan prioritas penting, yang harus kita perhatikan adalah inner beauty nya. Dan yang paling aku harapkan nanti adalah memiliki seorang suami yang lebih pandai dariku sehingga dapat menuntunku maupun membimbingku.
”Eh… kak, sepertinya kak Maryam cocok lho dengan Gus Yusuf..” ucap Ainun.
Aku tersentak dengan apa yang baru saja dibicarakan Ainun. ”Eh.. ak..aku.. ya nggak lah.. Gus Yusuf siapa? Putranya ibu? Dia terlalu tinggi untukku. Dia pandai dan punya segalanya, lagipula dia berdedikasi tinggi apalagi sekolahnya sampai luar negeri. Aku hanya anak wong ndeso.” Kataku. ”Sudahlah jangan bahas masalah ini lagi. Sarapan yuk, sekarang piketnya Ema kan yang mengambil, ya udah biar aku saja deh yang nggantiin..” Ucapku sambil beranjak dan meninggalkan Ainun yang heran dengan tingkahku. Tapi akhirnya dia mengikutiku dan membantu mengambil sarapan. Setelah itu kami makan bersama-sama tentunya setelah memanggil teman-teman santri yang sudah biasa makan bersama kami termasuk Ema. Dia memang ikut sarapan tetapi tidak mengganggap kalau aku ada diantaranya karena dia hanya mengajak bicara teman-temanku yang lain. Entah apa salahku sehingga dia bersikap seperti itu.
Malamnya setelah kegiatan dzibaiyah, kutemui Ema, karena aku ingin tahu kenapa dia bersikap seperti itu padaku.
”Ema… aku ingin bicara sebentar saja, boleh nggak?”
Tanyaku saat dia belum beranjak dari tempatnya setelah kegiatan dzibaiyah.
”Maaf aku ngantuk..” jawabnya tanpa melihat kearahku dan mulai beranjak. Kugenggam tangannya.
”Tolong.. demi persahabatan kita…” pintaku memelas dengan mata berkaca-kaca.
Akhirnya kami berdua duduk diruangan yang terletak di lantai dua dan biasa digunakan untuk kegiatan.
”Sebenarnya ada apa denganmu Ema?” Tanyaku kemudian.
”Maksudmu?” Tanyanya dengan dahi berkerut.
”Aku merasakan sepertinya kamu menyimpan sesuatu yang berkaitan denganku sehingga bisa kurasakan perbedaan sikapmu padaku daripada dengan teman-teman yang lain.”
”Nggak ada…” jawabnya acuh.
”Jangan bohong Ema… tolong jujurlah padaku, jika memang aku punya banyak kesalahan padamu katakan saja mungkin aku bisa memperbaiki segala kesalahan yang telah kuperbuat.”
Ema memandangku lekat, pandangan ketidaksukaan terpancar jelas dari kedua bola matanya. Kuakui Ema memang cantik, tapi banyak teman-temanku yang mengeluhkan tentang sifatnya yang suka menang sendiri dan harus mendapatkan apa yang diinginkannya. Sehingga banyak dari temanku yang terkadang harus mengalah karena Ema menyukai sesuatu yang dimiliki temanku itu.
”Kalau kamu pengen tahu, sebenarnya aku benci kamu.” Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan Ema ucapkan.
”Tapi apa masalahnya?” Tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Apakah mungkin aku pernah mendholimi Ema? Batinku penuh tanya.
”Masalahnya, aku selalu merasa kamu akan merebut sesuatu yang sangat aku cintai. Apa saja. Apalagi teman-teman selalu membicarakan tentang kamu, entah itu kecantikanmu, kepandaianmu dan aku tidak suka itu. Memangnya Cuma kamu yang bisa. Dan jangan harap Gus Yusuf akan mau dengan kamu karena dia adalah milikku. Kamu tidak berhak mendapatkannya. Kamu pasti kaget bagaimana aku bisa tahu tentang masalah ini. Kamu sungguh teledor, saat kamu menjadi anak baru, kamu sudah berani berulah, saat itu kebetulan aku ingin ke kamar mandi dan melihat kamu pergi ke dapur membakar sesuatu. Saat kamu pergi, kertas yang belum terbakar aku ambil dan ku baca sebuah nama Gus Muhammad Yusuf. Memang aku hanya membaca bagian tersebut tetapi itu sudah mewakili semuanya. Masih untung aku berbaik hati tidak melaporkannya pada keamanan. Sudah jelas?”
Hatiku merasakan berbagai gejolak yang sangat tak kuharapkan. Ah.. aku memang teledor tapi aku seharusnya sangat berterimakasih pada Ema karena tidak membocorkan ini semua.
”Maryam, tolong… aku sangat mencintai gus Yusuf. Jangan rebut dia dariku. Kamu tahu, rasa itu telah lama kupendam sejak kami sekelas di Mts. dulu. Dan sampai sekarang cinta itu masih tetap melekat dalam hatiku. Aku ingin memilikinya. Tidak boleh ada yang merebutnya dariku apalagi kamu. Kamu tahukan bagaimana rasanya jika cinta kita tidak terbalas?” Kata Ema dengan mata berkaca-kaca.
”Aku tahu bagaimana rasanya jika cinta kita tidak terbalas. Tapi cinta tidak harus memiliki, dan kita tidak bisa memaksakan kehendak kita untuk mendapatkan cinta yang kita inginkan itu. Bagaimana kalau orang yang kita cintai ternyata tidak mencintai kita dan telah memilih orang lain?”
”Tidak… tidaaaak… dia tidak akan memilih orang lain. Karena aku tahu, saat di Mts dulu dia juga sepertinya memiliki rasa yang sama seperti yang aku rasakan…” ucap Ema dengan emosi. Lalu beranjak tanpa mempedulikan aku yang masih duduk lemas. Dan tidak menyangka dengan tingkahnya tadi.
Sebesar itukah cinta Ema kepada gus Yusuf? Bagaimana aku bisa bersanding dengan seseorang sementara hati orang lain merasakan kepedihan yang mendalam. Bagaimana jika itu yang terjadi padaku. Aku bingung sekali. Kepalaku pusing. Aku langsung turun menuju ke kamarku. Suasana sepi. Teman-temanku sudah terlelap dalam buaian mimpi manis mereka. Sedangkan aku masih memikirkan apa seharusnya yang harus kuperbuat.
Matahari telah menampakkan cahayanya tuk menerangi jagad misteri pergolakan para manusia. Alunan merdu prenjak, menghiasi indera pendengaranku. Bunga mawar di taman, menghiasi indera penglihatanku. Semua terlihat begitu indah. Ciptaan-Nya telah disiapkan begitu rupa untuk kemanfaatan makhluk-Nya. Tiada dzat selain Dia. Maha Suci Allah. Terimakasih atas semua yang telah Engkau sediakan.
Waktuku tuk menuntut ilmu di pesantren ini mungkin sudah saatnya kuakhiri karena ada yang harus kulakukan setelah ini. Pembicaraanku dengan Ema tadi malam masih jelas terngiang dalam pikiranku. Aku sudah memutuskan jalan hidupku biarlah aku yang harus mengalah, yang penting aku tidak menyakiti seseorang yang mempunyai cinta seperti Ema. Gus maafkan aku…

Aku dan kau
Bagai langit dan bumi
Terpisah dalam jarak yang amat jauh
Bisakah perbedaan menyatukan kita?
Kau begitu tinggi
Sedang aku begitu rendah
Tak pantas kuberharap lebih
Hanya doa
Semoga kau mendapat pecinta
Yang dapat membuatmu bahagia
Dengan tanpa beda yang berjeda.
Bukan aku.. tentunya karena
Telah ada seseorang yang menunggumu
Dengan setia dan penuh rasa cinta

Sudah kuraih apa yang menjadi mimpi atau cita-citaku selama ini. Esok lusa kuputuskan untuk boyong. Ibu sudah kutelfon untuk datang pada waktu aku meninggalkan pondok. Sebenarnya sungguh berat untukku melangkahkan kaki keluar dari tempat yang telah membuatku sadar akan apa yang selama ini aku lakukan. Berbagai macam ilmu yang bermanfaat kuperoleh dari sini. Banyak teman yang kuperoleh dan membantu segala kesulitanku. Dan yang paling berat adalah meninggalkan keluarga Yusuf yang sudah kuanggap keluargaku sendiri.
Ba’da Isya’ aku datang ke ndalem untuk mengutarakan maksudku ini. Saat sampai di depan pintu, abah lewat dan melihat kedatanganku.
”Eh… Maryam, sini masuk nak.” Pinta abah. ”Kebetulan sekali, umi juga tadi sepertinya ingin membicarakan sesuatu. Ayo duduk, jangan berdiri terus, nanti capek lho..” kata abah sambil menunjukkan ke sofa untuk menyilakanku. ”Sebentar ya.. aku panggilkan umi..” kuperhatikan punggung abah yang masuk ke kamar untuk memanggil umi. Sesaat kemudian umi keluar, sedangkan aku masih tetap berdiri. Hati ini rasanya sangat berat untuk mengatakan segala yang sudah aku putuskan.
”Lho abah bagaimana kok tidak menyuruh Maryam duduk.” Ucap umi saat berjalan kearahku dan menggandeng tanganku, lalu menyuruhku duduk di sebelah beliau. Tapi aku berpindah dan duduk di lantai seperti biasanya para santri jika sedang sowan.
”Tadi abah juga sudah menyuruh Maryam duduk… lha kok sekarang malah di bawah, Ayo duduk di atas saja Maryam, tidak usah sungkan, lagipula kamu nanti juga akan menjadi bagian dari keluarga kami.”
Kata-kata abah membuatku bertambah sakit. Akhirnya aku duduk di sebelah umi sedangkan abah di kursi goyang sambil menghisap rokok seperti biasanya.
”Oya Maryam besok ada undangan sima’an di pernikahannya mbak Roudloh, umi harap kamu mau disimak disana karena umi sudah mengatakan kamu yang akan disimak. Emmm..dan seminggu lagi Yusuf akan pulang dari Kairo. Kini saatnya orang-orang tahu bahwa engkau adalah calon istri putraku. Bagaimana Maryam?”
Mataku berkaca-kaca. Walau berat aku harus tetap mengatakannya. Ya Allah.. kuatkan hambamu ini. Bismillahirrohmanirrohim, ”Emmm…Umi.. abah… insyaallah jika untuk besok saya masih sanggup untuk disimak karena saya..saya…sudah memutuskan untuk boyong besok lusa.” Umi terlihat kaget, sementara saat sedang meminum kopi, abah tersedak. Aku jadi serba salah.
”Kenapa besok lusa? Apa tidak mau menunggu Yusuf pulang dulu?” Tanya umi
”Maaf saya tidak bisa, karena ada keperluan yang harus saya urus. Lagipula ibu dan keluarga akan datang besok lusa untuk menjemput saya. Maaf..” Umi dan abah terlihat sangat kecewa. ”Sebetulnya sangat berat bagi saya jika harus secepat ini meninggalkan umi, abah, kak Zulaikha dan semuanya. Tetapi… saya harus melakukan ini untuk kebaikan semuanya.”
”Apa kamu sudah memikirkan masak-masak?” Tanya abah.
”Ya abah.. saya sudah memikirkannya, dan inilah keputusan saya.”
”Maryam… kamu sudah aku anggap keluargaku sendiri. Bukan karena Yusuf mencintaimu tetapi memang kamu seorang yang baik, sholihah, pandai, apalagi qur’an kamu sangat lancar. Makanya ibu ingin kamu saja yang disimak karena diantara para khotimat kemarin, kamulah yang paling lancar.”
”Terimakasih umi, atas kepercayaannya, mungkin antara Yusuf dengan saya, dia harus memikirkan lagi dalam memilih calon istri. Saya tidak pantas untuk Yusuf. Dan mungkin bukan saya wanita terbaik untuknya karena ada yang lebih mencintai dan pantas bersanding dengan Yusuf. Terimakasih atas segala yang telah umi dan abah berikan, baik itu ilmu, perhatian maupun izin agar saya dapat menimba dan menggapai mimpi di tempat yang sangat saya cintai ini.” Pipiku telah basah air mata. Ingin sekali kumenangis sekencang-kencangnya melepaskan segala gejolak dada ini tapi hal itu tidak mungkin aku lakukan dihadapan abah dan umi.
Umi mengusap air mata yang juga keluar dari pelupuk matanya. ”Mengapa kamu bicara seperti itu Maryam? Tentu saja Yusuf tetap akan memilihmu, karena hanya engkau wanita yang dicintainya. Saat bercerita denganku dulu kulihat kegembiraan menyelimuti hatinya bagaimana nanti jika dia tahu engkau mengatakan ini? Umi juga tidak ingin ada seseorang yang bersanding dengan Yusuf selain denganmu. Karena umi sudah mengenalmu dengan baik Maryam. Tapi itu semua terserah dengan segala keputusanmu. Umi juga tidak bisa memaksakan.”
Setelah pembicaraan dengan umi dan abah, kubereskan semua barang-barangku. Teman-temanku menyayangkan mengapa keputusanku untuk meninggalkan pesantren sangat mendadak. Tidak ada yang meminta kenang-kenangan dariku, padahal aku sudah menawarkan beberapa barangku untuk mereka. tetapi tidak ada yang menerimanya, malah menangis disebelahku dan menyuruhku untuk tetap disini. Biasanya jika ada santri yang boyong, bisa ludes barangnya sebelum dibawa pulang, alhasil jika ada barang yang penting dan sangat berarti baginya harus mencari siapa yang telah mengambil dan menggantinya dengan barang yang lain. Yang merasa paling berat untuk kutinggalkan adalah Ainun. Dia terus disampingku bahkan saat akan tidur dan teringat akan kepergianku dia menangis lagi. Aku sampai tidak tahu harus berbuat apa. Saat bangun tidur matanya menjadi sembab karena kebanyakan menangis. Berat sekali rasanya meninggalkan pesantren ini. Terlalu banyak kenangan manis dan indah yang tidak bisa aku lupakan.
Hari yang sebenarnya tidak kuinginkan akhirnya harus kulalui. Saat keluargaku datang tak kuasa kumenahan haru karena teman-temanku pada menangis. Ada yang sampai menarik-narik rokku dan menyembunyikan tas yang akan kubawa pulang, alhasil aku harus mencari tasku tersebut, ada-ada saja ulah mereka. Akhirnya tasku dikembalikan juga karena mungkin kasihan melihatku kelimpungan mencarinya dari tadi. Sebuah kebersamaan sangat dalam kurasakan di pesantren. Aku bangga dapat menjadi seorang santri walaupun hanya 3 tahun. Sebenarnya waktu 3 tahun itu tidak cukup bagiku tetapi aku harus melakukan hal-hal lain sesuai dengan tujuan yang telah kurancang.
Di depan pintu gerbang, umi, abah, kak Zulaikha dan teman-temanku menyertai kepulanganku. Tak kuasa ku menahan air mata ini. Umi dan kak Zulaikha memelukku sangat erat. Aku sesenggukan karena tak kuasa menahan segala beban yang ada dalam dada ini. Walau dengan berat hati, kulankahkan kaki ini pergi meninggalkan pesantren tercinta ini. Selamat tinggal semuanya. Gus… maafkan Ning, semoga kamu dapat bahagia bersama Ema.

Sudah beberapa hari ini aku di rumah, aku merasa sangat kesepian. Tadi memang aku membantu ibu di butik tetapi setelah itu pulang karena capek. Dan sekarang aku di rumah sendirian tidak ada teman yang bisa menghiburku. Ingin sekali aku mengetahui perkembangan pesantrenku di Kudus, kota santri penuh kenangan yang telah kutinggalkan. Andai di pesantrenku itu boleh membawa HP mungkin dari kemarin aku sudah berSMS ria dengan teman-temanku di sana. Aku sangat rindu dengan mereka. Sebenarnya ingin sekali aku menelfon lewat telfon pondok yang tersedia di ndalem, tapi aku malu.
Akhir-akhir ini aku mencari kegiatan dan juga ingin mencari pekerjaan. Dan kali ini aku sering mangajar ngaji anak-anak di rumah sehingga rumahku sering ramai. Untuk anak-anak SMP atau SMA mereka aku ajari beberapa matapelajaran yang masih kuingat sampai sekarang. Aku tidak memungut biaya tetapi dari mereka sendiri dengan ikhlas memberiku amplop yang isinya menurutku lebih dari cukup. Maklum daerah disekitarku tergolong dari keluarga menengah keatas. Setelah mengajar ngaji anak-anak aku ke kamar melepas segala penat.
Tiit…tiit..tiiit… HP ku berdering, dari siapa ya? Batinku bertanya-tanya. Langsung kubaca pesan yang baru saja masuk itu. Deg… hatiku bergetar hebat.
SMS dari Gus Yusuf,

Ass, Ning.. bagmn kbrnya? Kok tanpa memberi kbr sdh boyong dr pondok? Pdhl stlh aq plg dr Kairo ingin skali ku bertemu dgnmu? Ada apa?
Kuketik balasan untuk Gus.

Wa’alaikumslm, afwan gus… sbnarnya aq tdk ingin mninggalkan psantren yg sdh kuanggp rmhku sendiri. Btapa berat saat kumninggalkannya, tp aq punya mksd tertentu a tas smua ini…afwan…afwan…afwan.

Selang beberapa saat HP ku berdering lagi

Klo bleh aq tahu, apa mslhnya? apa gara2 aq?jika aq punya slh tlong dimaafkan. Aq jd khwatir.

Ingin sekali kuketik balasan lagi, tapi jika aku terus membalas SMS darinya berarti sama saja aku mengkhianati Ema. Biarlah aku yang mengalah. Sebenarnya hatiku sangat sakit, memendam rindu ini selama 3 tahun. Waktu dipesantren dulu sebenarnya sudah banyak ustadz maupun putra-putra kyai yang melamarku tetapi aku menolak dengan halus agar mereka tidak tersakiti. Apakah ini hukuman untukku karena menolak orang-orang sholeh? Tapi hanya Gus Yusuf yang aku cintai sehingga aku tidak mau membohongi perasaanku. Apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menangis, Cinta tidak harus memiliki. Allah pasti akan memberi yang terbaik untukku. Maaf gus bukan kubermaksud untuk menyakiti hatimu.
Kusiapkan sarapan di meja, sedangkan ibu sibuk merawat tanaman hiasnya di taman. Koran yang ada di tanganku tak kubaca karena dari tadi aku tidak bisa konsen. Anganku tenggelam dalam suatu pikiran yang telah membuat hatiku tidak tenang.
“Ada apa Maryam? Kamu masih memikirkan masalah Yusuf ya…” Tanya ibu saat sampai di depanku membuyarkan lamunanku.
“Maryam tidak apa-apa kok bu…” kataku menutupi kegelisahan yang kuhadapi.
“Kamu tidak bisa membohongi ibu nak… ibu tahu akhir-akhir ini kamu sedang banyak masalah. Ceritakanlah pada ibu. Kalau bukan dari anak ibu dari siapa lagi ibu akan mendengar keluh kesah dari seseorang yang ibu sayangi? Ucap ibu dengan nada bergetar.
“Kupeluk ibu erat, tangisku pecah seakan-akan semua yang aku rasakan telah aku keluarkan sekarang. “Menangislah Maryam.. itu akan membuat hati kamu agak tenang.” Kulepaskan pelukanku dan aku mulai bercerita dari awal hingga akhir. Dan ibu memberiku berbagai nasehat, hatiku agak tenang.
“Terimakasih bu…” ucapku setelah kami mengakhiri percakapan karena ibu harus pergi ke butik. Sebenarnya ibu tidak ingin pergi tapi karena sudah berjanji ibu harus menepatinya, jika selesai urusan ibu akan langsung pulang. HP ku berdering. Gus Yusuf menelfon, aku urung mengangkatnya. Sesaat kemudian berdering lagi. Aku bingung sekali, tapi akhirnya kuangkat juga.
“Hallo, assalamu’alaikum…” salamku mengawali pembicaraan.
“Wa’alaikumsalam…ning.. ada apa?” Tanya Gus Yusuf.
“Tidak ada apa-apa gus…” jawabku.
“Kok dari kemarin SMS ku tidak dibalas? Aku jadi khawatir. Biasanya kamu selalu membalas SMS dan tidak tega membuat seseorang kecewa karena tidak membalas SMS. Ada masalah apa?” Tanyanya dengan suara sendu.
”Tidak apa-apa…” jawabku masih sama dengan jawaban tadi.
”Tolong bilang kalau sedang ada masalah, aku sih husnudzon saja waktu ning nggak balas SMS ku, mungkin nggak punya pulsa atau sedang sibuk. Tapi ningkan biasanya call me, dan itu menunjukkan kalau ning nggak bisa membalas SMS dariku atau dari teman-teman yang lain seperti waktu dulu di SMA.”
”Maaf… aku tidak bermaksud ingin mengecewakan kamu gus, tapi seperti yang aku tulis di SMS aku punya maksud tertentu dengan semua ini.”
”Ya sudah, tapi kalau aku SMS tolong dibalas ya..”. ucapnya penuh harap.
”Maaf aku tidak bisa gus.” Jawabku lalu mengakhiri pembicaraan karena setelah itu HP ku non aktifkan. Di dalam kamar aku menangis sepuas-puasnya. Setelah itu aku berwudhu lalu sholat untuk menenangkan pikiran dan perasaanku. Dalam do’a aku memohon kepada Qiblat cintaku agar diberi ketabahan, kesabaran dalam menghadapi segala masalah yang menghadangku.
Sinar lembut cahaya pagi kali ini tak dapat membuatku menikmati keindahannya. Mataku terlihat sembab karena kebanyakan menangis tadi malam. Di taman aku memuroja’ah hafalanku. Aku memang suka sekali di taman karena dengan bunga-bunga yang berada disekelilingku pikiran ini agak tenang, lagi pula dengan suasana seperti ini konsentrasiku dapat lebih mudah dipusatkan.
Dari jauh ibu Maryam memperhatikan anaknya. Hatinya ikut tidak tenang melihat keadaan anaknya seperti itu. Ingin sekali dirinya membantu anaknya untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya, tapi bingung harus berbuat apa.
”Ting… tong… Assalamu’alaikum…” bel rumahku berbunyi. Kulihat ibuku cepat-cepat membuka pintu. Aku kembali melanjutkan muroja’ah karena tahu ibuku sudah membukakan pintu.
”Maryaam… Panggil ibuku. Ada tamu…” lanjutnya.
”Shodaqallahul ’adhim…” ucapku lirih sambil mencium mushaf yang telah lama mengiringiku dalam menyelesaikan hafalan di pesantren. Setelah itu kupercepat langkahku karena penasaran siapa seseorang yang mencariku. Apa icha ya… batinku menebak.
Alangkah terkejutnya aku setelah melihat siapa yang datang. Umi, abah, kak Zulaikha, Gus Yusuf, Ema, Ainun dan teman-teman santri lain yang kira-kira jumlahnya 10-an orang. Kenapa mereka kesini, batinku terus bertanya. Dan mereka membawa apa? Pertanyaan muncul lagi dari benakku karena melihat mereka membawa barang-barang yang banyak. Setelah mendekat kucium tangan umi, beliau memelukku lalu mencium keningku. Air mata mengalir di kedua pipinya.
”Umi kangen sekali denganmu Maryam…” kata umi sambil menatapku penuh sayang.
”Maryam juga umi…” ucapku sambil mengusap air bening yang juga keluar dari kedua pelupuk mataku.
Kuedarkan pandangan di sekelilingku. Kusalami mereka satu persatu kecuali abah dan Gus Yusuf. Saat aku berhadapan dengan Ema, kulihat tatapan matanya tidak seperti biasa. Kali ini lebih lembut dan dikedua bibirnya mengembangkan senyuman. Matanya berkaca-kaca.
”Maafkan aku Maryam…” Ucap Ema kemudian sambil memelukku. Aku memang salah, tak sepatutnya aku memaksakan kehendakku pada orang lain.
“Kamu tidak salah apa-apa padaku Ema. Sudahlah tidak usah dipikirkan. Oya… kok tidak pada duduk,” kataku mempersilakan mereka yang datang. Lalu aku langsung menuju ke dapur mempersiapkan jamuan sekedarnya. Ainun dan kak Zulaikha mengikuti langkahku dan membantu mempersiapkan.
“Kok kesininya rombongan, emang ada apa?” Tanyaku sambil menuangkan teh di gelas.
Kak Zulaikha dan Ainun tersenyum, ”Nanti juga tahu, iyakan Nun.” Jawab kak Zulaikha sambil melirik Ainun. Ah… mereka membuatku semakin penasaran. Setelah siap kami langsung kembali ke ruang tamu dan menyuguhkannya. Kulihat Yusuf sekilas, ternyata dia sedang memperhatikanku. Pandangannya dalam, senyumnya selalu terukir di kedua bibirnya yang indah.
“Begini… sebenarnya maksud kedatangan kami kesini adalah ingin mempererat tali silaturrahim yaitu melamar Maryam untuk anak kami Yusuf.” Kata abah saat aku sudah ikut duduk bergabung dan membuat jantungku berdetak keras. “Itu juga jika Maryam masih mau menerima pinangan dari kami.”
“Bagaimana Maryam?” Tanya ibu sambil memegang tanganku, dan aku hanya menunduk.
“Emmm… sebelumnya saya… saya.. minta maaf karena saya tidak bisa menerima lamaran ini. Ada seseorang yang lebih cocok bersanding dengan Gus Yusuf dari pada saya.” Kataku dengan tetap menunduk. Aku tidak berani mendongakkan wajahku.
”Aku mohon Maryam… jangan bohongi hatimu. Jika memang kamu tidak mau menerima lamaran ini jawablah dengan melihat kearahku.” Yusuf berkata dengan sangat halus. Hatiku tak karuan rasanya. Ingin sekali aku menerima tapi bagaimana dengan Ema? Apalagi sekarang Ema ada di sini.
“Maryam.. jangan kau korbankan lagi perasaanmu. Jika orang yang kau maksud lebih pantas bersanding dengan Gus Yusuf adalah aku, maka kamu salah Maryam. Aku sadar kita tidak bisa memaksakan kehendak kita, apalagi itu masalah perasaan dan hati. Aku memang egois karena dulu pernah berkata sesuatu yang mungkin sangat menyakiti perasaanmu. Kini aku sadar cinta tidak harus memiliki. Kamu sangat pantas bersanding dengan Gus Yusuf Maryam. Jika kau menolaknya berarti kamu telah menyakiti perasaan orang banyak termasuk aku. Dia sangat mencintaimu Maryam. Aku yakin kau sama halnya dengan Gus Yusuf.” Ucap Ema tulus.
”Tapi bukankah kamu sangat mencintai Gus Yusuf?”
”Iya aku memang mencintai gus Yusuf tetapi aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Lagipula bagaimana seseorang bisa hidup bahagia jika salah satu pasangannya tidak punya cinta? Dan cintanya itu hanya untuk seseorang?” Jawab Ema. ”Aku mohon Maryam jujurlah.”
Aku menunduk lagi, lalu mendongakkan wajahku dan memandang Yusuf. ”Emmm… kali ini saya.. saya.. tidak bisa… ”
”Masih tidak bisa?” Tanya Ema lagi
”Maksud saya tidak bisa menolak.. he..he..he…” jawabku berteka-teki sama seperti saat Yusuf mengungkapkan perasaannya dulu di sini.
Semua tertawa…
Yusuf lega sekali setelah mendengar langsung pernyataan Maryam. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata apa yang dia rasakan kali ini. Bidadari yang telah lama ia mimpi dan harap telah menerimanya. Hamdalah ia ucapkan berkali-kali.
Kalau begitu sekarang kita tentukan sekalian saja kapan pernikahannya, mumpung semuanya sudah berkumpul di sini. Ucap umi kemudian.
”Kalau bisa jangan lama-lama ya…” ucap Yusuf yang kemudian diikuti koor yang lain.
”Duh sudah tidak tahan ya..” kali ini kak Zulaikha yang bicara.
”Bukan begitu, daripada nanti maksiat terus. Mending cepat-cepat aja..”
“Halah.. bilang aja pengen cepet, pinter cari alasan..” kata kak Zulaikha lagi. Kami semua tertawa. Bahagia sekali hari ini. Terimakasih Qiblat Cintaku. Engkau telah memberikan kenikmatan yang begitu besar kepada hambamu ini.
Pada hari itu juga kami menentukan kapan kami akan menikah tetapi sebelumnya ibu menyuruhku untuk memanggil paman Ali dan keluarga untuk datang kerumah dan ikut membahas masalah ini. Tidak beberapa lama setelah kutelfon, Paman Ali, istrinya dan juga kedua keponakanku yang lucu itu datang. Suasana bertambah ramai dengan ulah kedua bocah itu.
Hari demi hari berlalu begitu cepat, kami mempersiapkan semuanya dengan matang. Jantungku selalu berdetak keras jika mengingat pernikahanku yang semakin dekat. Rumahku dipermak sedemikian rupa. Bunga-bunga ada dimana-mana, sehingga terlihat begitu indah. Kami membuat acara pernikahan ini semacam garden party atau pesta kebun. Jadi kami ingin agar para undangan dapat menikmati acara pernikahan ini dengan nyaman dengan suasana indah. Sebenarnya aku ingin acara pernikahan yang sederhana dan berkesan tetapi ibuku sangat ingin agar acaranya dibuat agak meriah karena hanya aku anak satu-satunya yang menikah.

* * *

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang. Setelah sholat ashar di masjid besar yang terletak di dekat rumahku dan nantinya akan menjadi tempat melangsungkan akad nikah, telah berkumpul para undangan baik dari pihak Gus Yusuf maupun undangan dariku. Kyai-kyai tampak berkumpul dan berbincang-bincang. Kenalan keluarga Gus Yusuf memang kebanyakan kyai. Dan kami mengundang kyai-kyai dari Kudus seperti Kyai Basyir, Kyai Dhofier, Kyai Arifin, Kyai Ahmadi, Kyai Sa’dullah, Kyai Sya’roni dan juga Kyai Ulin Nuha lalu Kyai Ulil Albab yang keduanya merupakan putra dari Almarhum Kyai Arwani Amin, seorang kyai yang disegani banyak orang.
Teman Gus Yusuf yang bernama Luqmanul Hakim menjadi pembawa acara. Sedangkan yang membacakan kalam illahi adalah Ilham yang juga teman Gus Yusuf suaranya begitu indah melantunkan ayat-ayat suci. Sebelum akad nikah dimulai Kyai Ulin Nuha memberi khutbah singkat tapi sangat mengena dan membuat hatiku bergetar. Akad nikahpun dimulai, kini Kyai Ulil Albab yang menjadi wali untuk menikahkanku dengan Gus Yusuf. Beliau menjabat tangan Gus Yusuf erat, lalu kudengar suara Gus Yusuf dengan terbata namun pasti mengucapkan
”Qabiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji kitabillah wa sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Siti Maryam binti Amin Nashir) untuk dirikku dengan mahar yang telah disebut tadi kontan, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rosulillah!”
tak terasa air mataku mengalir. Tak henti-hentinya kuucapkan hamdalah. Akhirnya Engkau telah menyatukan kami dalam ikatan suci ya Allah.
Setelah itu Kyai Sya’roni memberikan khutbah nikah dan di akhiri dengan do’a yang dibawakan oleh Kyai Basyir. Hatiku begitu sejuk. Do’a para hadirin berdengung semakin membuat hati ini tidak dapat mengungkapkan kegembiraan yang meluap-luap. Group hadroh Al-Qudsiyah melantunkan sholawat-sholawat yang membuat para hadirin menikmati alunannya. Mereka terlihat begitu mahir memainkan alat-alat yang ada ditangannya. Sedangkan aku dan Gus Yusuf menyalami satu persatu hadirin yang telah kami undang. Dalam perjalanan menuju rumahku group hadroh Al-Qudsiyah senantiasa mengiringi langkahku dan Gus Yusuf menuju kerumah. Alhamdulillah acara berlangsung dengan lancar dari awal sampai akhir. Setelah acara selesai.
Aku dan Gus Yusuf masuk ke dalam kamar. Kami berfoto-foto sebentar dan membuka beberapa kado, sempat kaget juga karena isinya ada yang berupa kondom, lalu gaun malam, wah ada-ada saja mereka. Setelah itu kami duduk bersebelahan. Aku hanya diam karena bingung harus bicara apa. Badanku panas dingin, tidak pernah kurasakan keadaan semacam ini. Aku hanya menunduk malu. Kami berdua salah tingkah. Aku gemas sekali karena dia hanya diam, masak aku yang harus memulai. Aku akhirnya berdiri, tiba-tiba dia memegang tanganku dan menyuruhku duduk kembali. Kami berdua saling berhadapan dan berpandangan lama sekali. Dia begitu tampan. Tangannya kemudian memegang ubun-ubun kepalaku dan kudengar dia berdoa seperti yang diajarkan Nabi SAW
” Allahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kajahatan wataknya. Amin.
Ya Allah semoga pada malam zafaf ini penuh dengan keberkahan, do’aku dalam hati. Setelah itu kudengar Gus Yusuf berdo’a lagi,
”Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah membarakahi masing-masing diantara kita terhadap teman hidupnya.” Kuucapkan amin berkali-kali. Berharap agar Allah mengabulkan semua do’a kami.
Setelah itu kurasakan kecupan diubun-ubunku, yah… gus Yusuf telah menciumku. Ini kali pertama kurasakan kecupan dari seseorang yang telah mencuri hatiku. Air mataku meleleh, aku sangat bahagia.
Sebelum tidur kami berwudhu dan melakukan sholat sunnah agar pernikahan kami barokah lalu kudengar gus membaca do’a seperti yang diajarkan nabi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud.
”Allahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allahumma ijma’ bainana ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka padaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Tak kuasa ku menahan rasa haru yang menyelimuti hatiku ini. Aku mengamini dengan penuh perasaan. Terimakasih ya Allah telah Engkau berikan seorang suami seperti Yusuf. Aku sangat mencintainya.
Setelah selesai membaca do’a, gus menghadap kearahku. Dan aku langsung mencium tangannya sedangkan dia mencium keningku lagi.
”Aku sangat mencintaimu ning katanya kemudian. Aku juga sangat mencintaimu gus…” jawabku. Kami lalu beranjak, kuambil sajadah yang tadi dipakai gus dan kulipat dengan rapi sekalian melipat rukuh yang baru saja kupakai, kusimpan di lemari yang memang khusus disiapkan untuk menyimpan alat-alat sholat.
”Ning.. aku keluar sebentar ya… mau mengambil sesuatu.”
”Mau kemana sih…” tanyaku manja.
”Ada deh…”
”Ya udah tapi jangan lama-lama ya…”
”Siip…” jawab gus dengan mengacungkan jempolnya.
Selagi gus keluar, aku berdandan. Kupilih gaun malam yang paling bagus, kuurai rambutku yang panjang dan kupakai parfum. Di depan kaca aku tersenyum-senyum sendiri bergaya bagaimana nanti aku harus berbicara di depan gus. Aku lalu mengambil dua gelas air minum dan saat sedang menuangkan minum kurasakan seseorang melingkarkan tangannya di perutku. Lalu bunga mawar merah berada dihadapanku.
”Kau tahu ning, mawar ini seperti dirimu. Cantik dan berduri maksudnya jika seseorang ingin memiliki keindahannya dia harus berusaha dan berhati-hati saat mengambil karena kalau tidak dirinya bisa terluka. Cantik tapi sulit dijamah sehingga terjaga kesucian dan kecantikannya.” Aku tersenyum dengan keromantisannya. Kuhadapkan wajahku sehingga tatapan kami saling beradu. ”Kamu cantik sekali ning… beruntung sekali aku bisa mempersunting bidadari dunia yang sholikhah dan akan berlipat-lipat kecantikannya dari pada bidadari sana karena ibadah kepada Allah.” Gus kemudian menggendongku menuju tempat tidur, kami lalu memainkan sebuah drama percintaan yang begitu indah. Allah telah membukakan pintu kenikmatan begitu lebar. Sebuah kenikmatan yang halal dan penuh pahala. Aku tak habis pikir, begitu bodohnya orang yang mau menikmati suatu hubungan tanpa ikatan suci sehingga penuh dosa. Terimakasih Qiblat cintaku.
* * *
Ba’da sholat shubuh, aku dan Gus bersiap-siap untuk keluar. Tadi malam aku sempat mengutarakan keinginanku untuk pergi ke pantai. ”Ningku sayang… nanti aku ya yang menyetir..” pinta Yusuf
”Tidak boleh.. aku saja, memangnya gus bisa menyetir?” Tanyaku tidak percaya karena tak pernah kudengar gus bisa mengemudi mobil.
”Bisalah, dulu di Kairo aku pernah belajar sebentar diajari temanku.”
”Berartikan belum mahir? Pokoknya nggak boleh.”. larangku.
”Sebentaaar saja, boleh ya ning. Aku pasti bisa kok. Setelah itu ning boleh menyetir sepuasnya, aku tidak akan menganggu.” Pintanya manja.
”Emmm.. gimana ya.. ya udah deh boleh, tapi nanti kalau lewat di jalan yang sepi aja.” Jawabku membuat dirinya langsung memelukku erat.
Saat turun dari tangga, ibu lewat dan sepertinya heran karena melihat kami sudah rapi.
”Lho pengantin barunya mau kemana?” Tanya ibuku kemudian.
”Mau jalan-jalan bu..” jawab Yusuf.
”Iya bu.. kami mau ke pantai, paling sebentar kok, jangan khawatir.”
”Menurut ibu, Kalau bisa kalian jangan pergi-pergi dulu… baiknya di rumah. Tapi kalau memang mau pergi, ya sudah tapi ingat jangan lama-lama ya.. setelah itu dirumah saja.”
”Baik bu…” jawabku hampir bersamaan dengan gus Yusuf. Sejenak kami berpandangan. Dan setelah itu bergantian menyalami ibu.
”Apa tidak di rumah saja dulu, perginya besok-besok saja..” kata ibu lagi.
”Sebentar saja kok… boleh ya..” pintaku lagi.
”Baiklah kalau kalian memaksa, tapi sebentar saja ya…”
”Tenang saja bu…” kata Yusuf.
“Ya sudah hati-hati di jalan.”
Kulihat ibu memperhatikan kepergian kami sampai hilang dari pandangan. Entah kenapa saat aku melangkah keluar rasanya kaki ini terasa berat.
Kami akhirnya jadi pergi ke pantai. Keinginanku sejak dulu tersampaikan juga apalagi kali ini bersama orang yang sangat kucintai. Jalanan masih sepi, kukemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Kulihat gus menyetel murottal syekh Sa’ad Al Ghomidhi. Suasana begitu damai. Kami bergumam mengikuti bacaan syekh tersebut, Surat An-Nisa’.
”Ning mau dimadu nggak?” Tanyanya tiba-tiba.
”Kalau gus bisa adil kenapa tidak?” Jawabku tanpa menoleh kearahnya.
”Ah yang bener.. nanti tiap malam nangis.”
”Kalau nangis ya pastilah namanya juga perempuan. Bagaimana tidak cemburu jika melihat orang yang kucinta bersama dengan orang lain. Love is never without jealousy. Cinta selalu disertai rasa cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada.” Gus lalu mengecup pipiku. Wajahku merona.
“Ning gantian dong, gus pengen nyetir nih… mumpung masih sepi, ntar kalau rame pasti tambah nggak boleh sama ning, iyakan? tanganku sudah gatel.”
”Ya udah garuk aja…”
”Bener mau digarukin?”
”Tangannya sudah bersiap di depan perutku. Aku paling geli dan tidak tahan jika digelitik.”
”Eh awas ya kalau mau coba-coba. Tak pecat jadi gus ntar…”
”Nggak apa-apa yang pentingkan sudah dapet ningnya…” katanya merayu.
Dengan terpaksa kuhentikan mobil dan gantian gus yang mengemudikannya. Sebetulnya khawatir juga tetapi gus terus memaksa.
”Pokoknya GPL, gak pakai lama ok…”
”Ok deh.. ”
Saat mengemudi, kuakui memang gus sudah agak lancar tapi entah kenapa ada rasa khawatir yang menyelimuti hatiku. Lantunan syekh dalam membacakan ayat-ayat suci masih indah mengalun merdu.
”Ning… nanti mau punya anak berapa?” Tanya gus tanpa menoleh karena masih konsentrasi memandang ke depan.
”Kalau gus pengennya berapa?” Aku balik bertanya.
”Emmm… kalau tujuh gimana?”
”Hah… tujuh?” Mataku terbelalak, ”berarti kita buat terus dong… waw…”
”Just kidding darling… Gus ikut ning aja.. mau buat terus ya ayo, kalau nggak ya tetep buat..” katanya sambil tersenyum
”Itu sih sama aja…” kataku sambil mengerling manja. Gus memandangku lekat. Dan saat kulihat ke depan mobil sedan dengan kecepatan tinggi melaju kearah kami.
”Gus awaaas…” teriakku. Gus berusaha menghindar dan dengan gesit akhirnya kami berhasil melalui mobil tersebut. Tetapi gus kehilangan keseimbangan, mobil yang kami tumpangi berjalan meliuk liuk dan akhirnya tanpa bisa menghindar lagi mobil kami menabrak truk yang diparkir ditepi jalan. Mobil kami terbalik dan berguling-guling. Kurasakan darah segar mengalir dari kepalaku. Kulihat kepala gus sudah penuh dengan darah juga dan memandangku lekat.
”Ma..af ning..” katanya terbata. Kepalaku pusing sekali tidak karuan rasanya, darah segar mengalir bertambah banyak.
“Ti..tidak apa-apa gus.”
“Ning.. I Love You.”
“I Love You too.”
Murottal Syekh Al-Ghomidhi masih mengalun indah.
“Asyhadu allaa ilaa ha illallaah. Wa asyhadu anna muhammadarrosulullah.” Ucap kami hampir bersamaan.
Semua gelap, di alam lain kulihat banyak orang mengangkut jenazah kami. Ibuku menangis, begitu pula umi, beliau berpelukan bersama ibu. Umar dan Ustman melihat orang-orang disekitarnya dan akhirnya ikut menangis juga.
”Ayah… kak Malyam sama kak Yusuf kenapa? kok diam saja.” Tanya Umar pada ayahnya.
”Mereka telah kembali kepada Qiblat Cintanya.”

Awalnya kita terpisah dalam jarak ribuan kilometer
Hati yang merasa dan mata yang melihat
Membuatku tak bisa memandangmu disekelilingku
Rintik hujanpun turun pelan-pelan
Bersatu dengan air mata yang deras
Permintaan dalam do’a menjadi sebuah penantian
Aku ingin kita seperti sepasang merpati
Terbang bersama dalam kerujukan
Membuat siapapun iri
Saat langit kelampun kita masih berdekatan
Tali suci tlah mengikat kita berdua
Tuhan tlah mencatat pertemuan kita
Dalam lembaran lauh mahfudh
Perbedaan yang bersatu menjadi tiada
Kebersamaan itu kita lanjutkan sampai di surga.

The End.

Bahan-bahan pendukung

Majalah Qiblati, Jangan Sibuk Mengkafirkan Orang, edisi 08 tahun II-Mei 2007.

Majalah Qiblati, Kewajiban Mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, Edisi 09 tahun II- Juni 2007.

Assegaf, Abd Rachman, Internasionalisasi Pendidikan, sketsa perbandingan pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media, 2003.

Habiburrahman El-Syirazi, Ayat-Ayat cinta, jakarta: Penerbit Republika, 2004.

Artikel Seputar Indonesia, Selasa 17 April 2007, Yogyakarta.

Padang Ekspres, 9 April 2007.

Artikel Republika, ahad 15 April 2007, Yogyakarta.

Tulisan Tentang Aku:

Pada hari Ahad, tanggal 1 Juni 1986 di Semarang. Aku, tlah mulai menikmati gamang dunia dan hidup sebagai seorang manusia yang harus mengemban amanat sebagai seorang khalifah (pemimpin) minimal untuk diriku sendiri.
Nama Zumaroh Nur Fajrin akhirnya melekat dan menjadi predikat dalam panggilan keseharian. Nama itu diberikan agar aku dapat menjadi rombongan cahaya yang memberi penerangan saat fajar bagi siapa saja untuk memulai hidup agar lebih hidup. Bukan menuruti kemalasan yang kan membawa pada kerugian. Memberi semangat untuk mulai beraktifitas dengan sebuah kegiatan dalam meraih masa depan yang gemilang.
Aku memulai studi pada pendidikan menengah di Mts. Dan MA. NU Banat Kudus. Selama 6 tahun ku ditempa disebuah pondok pesantren daerah Kaligunting dengan Pengasuh Bu nyai Umi Hanik dan Kyai Ahmadi. Kota Santri yang penuh kenangan itu memberiku cerita pada bagian hidupku baik manis maupun pahit yang tak akan pernah kulupa sehingga dapat juga menjadi cerita bagi anak cucuku.
Saat ini aku sedang menjalani studi di kampus putih, kampus rakyat yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, fakultas Tarbiyah jurusan Kependidikan Islam. Di Krapyak yayasan Al-Munawwir komplek Nurussalam, aku nyantri mencari ilmu yang barokah, manfaat dan berharap dapat kuamalkan pada akhirnya. Hal yang paling kusuka adalah seni. Yah.. seni itu indah sehingga dengan adanya seni berarti aku menyukai keindahan. Apa anda menyukai keindahan juga?

Perbedaan

Aku dan kau
Bagai langit dan bumi
Terpisah dalam jarak yang amat jauh
Bisakah perbedaan menyatukan kita?
Kau begitu tinggi
Sedang aku begitu rendah
Tak pantas kuberharap lebih
Hanya doa
Semoga kau mendapat pecinta
Yang dapat membuatmu bahagia
Dengan tanpa beda yang berjeda.

harapan sahabat

Embun pagi menyapa dengan sejuta kesejukan
Tamparan sang surya memberi kecerahan
Pada jagad yang fana
Makhluk kecil merentangkan sayapnya
Mempersembahkan nyanyian riang
Berharap sang penikmat ikut berdendang
Dan sementara itu
Ketika kusetubuhi setiap huruf
Yang tertata dalam sajak
Kuharapkan seseorang ikut mengarunginya
Memberikan harapan
Bagi seorang sahabat penentram hati
Agar hijrah dari kesedihan
Menuju kebahagiaan.

Sebuah Pencarian

Gelap yang semakin larut
Menyongsongku dalam pekat yang akut
Ego yang tadinya memaksa
Telah menjadi beban tanpa daya

Siapa sangka semua itu berakhir
Menjadi sebuah hikayat yang bernaung dalam sejarah?

Manajemen rasa senantiasa menanti
Akan hadirnya seorang pemuda bakti,
Dalam sebuah pencarian,
Tuk dapat menggapai mimpi.

kebersamaan

Awalnya kita terpisah dalam jarak ribuan kilometer
Hati yang merasa dan mata yang melihat
Membuatku tak bisa memandangmu disekelilingku
Rintik hujanpun turun pelan-pelan
Bersatu dengan air mata yang deras
Permintaan dalam do’a menjadi sebuah penantian
Aku ingin kita seperti sepasang merpati
Terbang bersama dalam kerujukan
Membuat siapapun iri
Saat langit kelampun kita masih berdekatan
Akankah Tali suci mengikat kita berdua?
Harapku dalam doa
Tuhan tlah mencatat pertemuan kita
Dalam lembaran lauh mahfudh
Perbedaan itu menjadi tiada
Kebersamaan kan kita lanjutkan sampai di surga

Cah Anyar


By : Zoom_@re

Huuu..huu…” terlihat seorang anak menangis dipojok ruangan. Dia adalah anak baru di ponpes Roudlatul Jannah. Laila Hayyina Sahala namanya. Lulusan SD, dan sekarang sedang mendaftarkan diri di Mts. Nawa Kartika.

Eh di kamar An-Nur ada cah anyar lho…” kata salah seorang santri yang bernama Nia.

Ah ketinggalan kau, aku sudah tahu, anaknya manis, tapi sayang kerjaannya nangis. Ha..ha..” Faizah tertawa.

Jangan gitu.. kamu pas baru disini juga nangis, mungkin dia belum terbiasa.” Tukas Nia mengingatkan.

Faizah diam ingat waktu jadi cah anyar.

Ba’da maghrib para santri mengaji Al-Qur’an sendiri-sendiri, kesempatan waktu ini biasanya tidak disia-siakan para santri dan mereka pakai sebaik-baiknya karena sesuai petuah ibu nyai, ba’da maghrib adalah waktu yang paling baik untuk belajar.

Laila masih teringat oleh ibu bapaknya di rumah. Ingin sekali ia pulang dan bercengkrama dengan mereka. Terkadang terbersit penyesalan mengapa dirinya memilih untuk mondok. Di sebelahnya mbak Masriyani yang biasa dipanggil Mbak Yani dengan sabar menenangkannya dan mengajarinya mengaji. Untuk sementara pikirannya tentang rumah terlupakan.

Esoknya, setelah Laila pulang dari tes pendaftaran di Mts. Nawa Kartika. Pikirannya tentang rumah muncul kembali. Di jalan ia sempatkan untuk mampir di wartel tentu saja menelfon ibunya.

Halo.. assalamu’alaikum..”

Wa’alaikumsalam.. jawab suara di seberang. Laila ya..” ucap ibunya yakin kalau itu suara anaknya.

Iya bu.. hiks..hiks..” laila tidak bisa menahan tangisannya. ”Bu.. laila kangen pengen pulang saja tidak usah mondok.” Tangis Laila pecah.

Ibu laila sebenarnya juga kangen dengan anaknya. Tapi dia ingin anaknya pandai mengaji tidak seperti dirinya. Toh mondok juga keinginan anaknya.

Lho.. kemarin yang minta mondok siapa?” Tanya ibunya kalem. Terdengar suara isak tangis Laila. Ibunya miris, air matanya mengalir tapi tidak ada yang tahu kalau dirinya juga sedang menangis. ”Jangan keburu-buru dalam memutuskan sesuatu, jalani dulu nanti kamu pasti betah, banyak temannya disana.” Dan Laila berusaha menuruti kata-kata ibunya.

Dari hari kehari, Laila merasa nyaman berada di pondok. Teman-temannya sangat baik apalagi Mbak Yani sangat memperhatikannya. Kebersamaan, kemandirian, serta kesabaran dapat dilatih dan diperolehnya lewat pondok.

 

Bu, Laila sudah betah.” Katanya saat menelfon lagi. Sang ibu tersenyum penuh syukur. Bagai menemukan oase ditengah padang pasir yang tandus. ”Semoga kamu berhasil nak. Belajarlah sungguh-sungguh.” Do’anya dalam hati..

 

Tombo Ngantuk


By: Zoom_@re

Matahari turun pelan-pelan dari peraduan, dia ingin beristirahat sejenak setelah memberikan terang, diserahkan tugasnya kepada sang rembulan untuk menerangi bumi dengan pantulan sinarnya. Bintang yang bertaburan tak ketinggalan menjadi penghias petala langit. Sungguh Allah telah mengatur semuanya dengan sangat indah.

Ba’da sholat maghrib kumasuki ruang yang nanti akan dipakai untuk mengaji kitab. Seperti biasa belum ada santri yang datang. Kutata bangku untuk ustadz Jalil dan kutaruh segelas air putih yang telah kupersiapkan dari kamar. Sesaat kemudian Pak Jalil datang, beliau kupersilakan masuk sementara itu kupanggil santri lain agar ikut mengaji. ”Mbak-mbak… pak Jalil Rawuh..” teriakku berulang-ulang dan diikuti koor santri lain yang mendengar teriakanku, agar santri yang merasa diajar oleh Pak Jalil datang.

Saat semua sudah berkumpul, ustadz Jalil mulai membuka dan mengkaji kitab At-tibyan Fi Adabi hamalatil Qur’an. Kami mendengar dan memaknai dengan arab Pegon yang ditulis miring. Sejenak kemudian kurasakan mataku sangat berat. Ngantuk sekali rasanya. Tekluk..tekluk, tanpa sadar kepalaku manggut-manggut. Vina yang duduk disebelahku menjawil pundakku. Mataku kubuka dan di pojok ruangan terlihat mbak Ema dan Yani sedang tersenyum-senyum memandangku. Aku merasa sangat malu apalagi setelah itu dalam penjelasannya, Ustadz Jalil menyindir masalah tidur. Sejenak aku bisa menguasai diri dan mendengar penjelasan Pak Jalil. Tanpa terasa mataku terpejam lagi, ”prakk…” kitab dan pulpenku jatuh, kali ini badanku panas dingin, semua tertawa termasuk Ustadz Jalil, aku hanya menunduk malu. “Mbak Nisa kok dari tadi ngantuk ya..” ustadz Jalil bertanya padaku. Aku hanya diam, teman-temanku masih geli dengan kejadian tadi.

Usai mengaji, kurasakan mataku tidak lagi berat, segar malahan. Teman-temanku memang sudah mengecapku sebagai cah ngantukan, tidak pandang tempat. Di bis, di depan kyai, saat sholat, ah.. apa yang terjadi denganku? Sebenarnya saat aku mengajak teman-teman untuk mengaji ada rasa tidak enak karena pasti nanti saat mengaji aku selalu ngantuk. Terlihat mbak Ema sedang berjalan melewatiku “dasar ngantukan,” ujarnya saat sampai di depanku. Seperti biasa aku diam tidak menanggapi omongannya. Aku sudah biasa mendengar ejekannya. Aku tidak tahu mengapa bisa seperti ini, ngantukan sekali, ibuku dulu ngidam apa ya?

Saat pulang ke rumah, dan ngobrol bersama ibu, beliau banyak menasehatiku tapi apa yang terjadi, aku kadang ngantuk saat mendengar nasehatnya. Ibuku juga heran tapi tak bisa berbuat apa-apa.

* * *

Senin pagi, di dalam bus aku bertemu dengan seorang pemuda, manis orangnya. Dia memperkenalkan diri. Aku sebenarnya tidak begitu menggubris tapi karena sepertinya dia orang baik-baik kutanggapi juga dia. Ternyata dia anak pesantren. Setelah perkenalan itu akhirnya dia sering menelfon dan mengirim SMS, setiap hari pulsaku berkurang hanya untuk dia. Aku sadar dengan kekeliruanku ini, tapi jari ini seakan tidak ingin berhenti memainkan huruf saat mendapat sms darinya. Aku sering melamun, ngantuk pun jarang karena ada yang dipikirkan.

Aku jadi tidak bisa konsentrasi, namun agak senang juga karena setiap mengaji menjadi jarang mengantuk. Teman-temanku heran apa yang bisa membuatku berubah. Kulihat mbak Ema tekluk-tekluk, gantian dia yang sering ngantukan. Itulah, mungkin kemakan omongannya. Semoga ngantuknya cepat hilang, doaku. Aku geli sendiri melihatnya, dan membayangkan saat diriku mengantuk. ”Ternyata aku seperti itu to kalau mengantuk.. wah memalukan memang, apalagi sampai menjatuhkan kitab. Setelah mengaji kuhapus semua SMS dari lelaki yang selalu membuat pikiranku terganggu. Jika seperti ini terus aku tidak akan maju. SMS darinya tidak pernah kubalas, telfonnya pun tak pernah kuangkat. Sebenarnya merasa bersalah juga tapi aku harus bisa mengendalikan diriku. Kubuang jauh-jauh rasa yang pernah mampir dihati ini. Aku ingin belajar sungguh-sungguh.

Malam selasa, seperti biasa aku dan teman-teman mengaji kitab bersama Ustadz Jalil. Kuperhatikan dan kusimak baik-baik. Bismillah semoga ilmuku bermanfaat, niatku dalam hati. Kubersihkan pikiranku darinya walau kadang masih sempat mampir, kalau jodoh ya nanti bersatu kalau tidak ya sudah pikirku.

Sampai akhir, aku tidak merasa ngantuk. Alhamdulillah.

Terimakasih wahai tombo ngantukku telah memberikan kesenangan walau sesaat.

Preman Santri

By : Zoom_@re

Hei… bangun-bangun..” bentak seseorang yang biasa dipanggil Kang Prem di pesantrennya oleh para santri karena dianggap preman. ”Hei.. ayo banguun Cepaat.. sholat.. sholat..” teriaknya dengan suara lantang. Mushola yang menjadi tempat tidur sebagian santri dan tadinya sepi menjadi ramai setelah Kang Prem datang. Walaupun begitu, Kang Prem merupakan pengurus yang disegani, santri-santri lain merasa sungkan dengan kang Prem tersebut karena dia bukan sembarang Preman mereka menyebutnya Preman alim. Kang Prem selalu menghabiskan waktunya untuk mengaji, biasanya 3 hari sekali dia bisa mengkhatamkan Al-Qur’an. Jadi tidak heran hafalannya sangat lancar dan bacaannya pun fasih karena dulu pernah nyantri selama 6 tahun di Ponpes yayasan Arwaniyah Kudus.

Nama aslinya Umar Al-Faruq. Di pondok, Kang Prem selalu membangunkan para santri. Saat sepertiga malam terakhir biasanya Kang Prem sudah menggedor-gedor pintu dengan keras, agar tambah mantap dia menggunakan bambu kecil. Dan selalu mengoprak-oprak saat ada kegiatan seperti bandongan maupun sorogan. Setelah bangun biasanya para santri langsung mangkel.

Kang Prem memang seperti Preman, 3 gelang hitam yang selalu melekat di pergelangan tangan kirinya, cincin berakik yang ia lingkarkan di jari tengah dan kuku di ibu jari yang panjang, sudah menjadi ciri khasnya. Rambut gondrong yang selalu terkucir rapi membuat kesan sebutan preman memang cocok untuknya. Terkadang Kang Prem suka meminta uang, mie Instan yang masih terbungkus, lalu sabun-sabun dan terkadang baju yang sudah tidak dipakai lagi oleh santri, walaupun tidak secara paksa.. Itu yang sangat tidak disuka dari Kang Prem oleh mereka. Teman akrab Kang Prem adalah Ashfal Maula, sifat mereka sangat berbeda karena Ashfal Maula yang biasa disapa Kang Apang sangat halus, berwibawa dan murah senyum kepada siapa saja. Saat membangunkan santri-santripun tidak dengan cara keras. Walaupun cara membangunkannya halus tapi mengena, dan santri juga biasanya langsung bangun jika dibangunkan.

Kang Prem adalah pengurus inti pondok, sedang Kang Apang adalah sie ibadah, mereka sangat kompak dalam menjalankan tugasnya.

Kang Apang..” panggil kang Prem halus saat sedang bersama-sama menyantap sarapan pagi.

Ada apa?” Tanya Kang Apang sambil tetap mengunyah krupuk terakhirnya.

Sepertinya para santri sudah sangat membenci aku ya..” ucap Kang Prem dengan nada sedih. ”Sebetulnya… aku tidak ingin berlaku keras terhadap mereka tapi inilah aku. Aku ingin mereka punya kesadaran, tidak dioprak-oprak terus tapi sampai sekarangpun sepertinya mereka susah untuk berubah.”

Kang Apang tersenyum melihat sahabatnya dan menyingkirkan piringnya yang sudah kosong. ”Sampeyan itu bicara apa to kang.. jujur saya lebih suka dengan sifat sampeyan yang tegas itu. Luarnya memang seperti preman tapi hati sampeyan baik. Maksud sampeyan membangunkan itukan juga untuk kebaikan mereka. Sudahlah tidak usah dipikirkan kalaupun mereka membenci sampeyan itu paling cuma sesaat setelah sampeyan ngoprak-oprak.” Kang Prem diam. Dia sepertinya sudah tidak mau membahasnya lagi walaupun dalam hatinya masih merasa kalau para santri tidak suka padanya.

Kala letih menanti

Kerelaan menuntut kita

tuk hadirkan kepuasan tersendiri

pengorbanan akan keinginan tuk bangkitkan sadar

mengoyak batin yang penuh dengan penat

masa depan yang diharap,

kan kita petik sebagai buah dari usaha

kemenangan yang diingini

itu karna imajinasi yang hanya slalu jadi ilusi

apa daya jika tak ada realisasi

dan mengapa semua itu terjadi?

Tanya pada diri sendiri

Hari yang cerah, embun pagi telah menyapa dengan sejuta kesejukan, tamparan sang surya memberi kecerahan pada jagad yang fana, makhluk kecil merentangkan sayapnya, mempersembahkan nyanyian riang, berharap sang penikmat ikut berdendang. Sementara itu didalam ruangan sempit yang ditempati sebagai kamar pengurus, Kang Prem sudah mengemasi barangnya untuk pergi meninggalkan pondok, tidak tahu pasti untuk jangka waktu sementara atau selamanya. Saat ditanya dia hanya diam. Tetapi tak ada satu barangpun yang ia tinggalkan.

Setelah berpamitan Kang Prem pergi, hatinya sedih tetapi sekaligus bebas karena tidak terbebani oleh tugas pondok.

Eh.. kang Prem pergi, boyong kayaknya.. wah kita bisa bebas. Aku paling nggak suka kalau dia yang bangunin, seenaknya aja, bikin kupingku panas.” salah seorang santri berkata dengan penuh semangat. Dan yang lain akhirnya menambah-nambahi semua yang telah kang Prem perbuat. Kang Apang hendak ke kamar mandi, dia mendengar pembicaraan itu lalu menghampiri gerombolan yang sedang membicarakan sahabatnya.

Sst..sst.. ada Kang Apang,” bisik salah seorang diantara mereka saat melihat Kang Apang yang berjalan ke arah mereka.

Ehem..ehem..” Kang apang berdehem, lalu ikut duduk bersama mereka. ”Sepertinya saya tadi mendengar kalian membicarakan kang Faruq ya..” Kang Apang diam sesaat lalu melanjutkan bicaranya. ”Kalian tahu apa yang telah kalian perbuat? Itu sama saja dengan memakan daging busuk saudaranya karena membicarakan orang lain.” Para santri yang ada di situ diam merasa bersalah dan tidak enak karena ketahuan telah membicarakan sahabat Kang Apang. ”Bukannya saya membela kang Faruq, tapi kalian tidak mengenal kang Faruq dengan baik.”

Ehm kenapa Kang Prem eh Kang Faruq suka meminta uang atau barang-barang dari kami?” Tanya salah seorang dari mereka, dan yang lain manggut-manggut membenarkan pertanyaanya.

Sebenarnya uang dan barang itu kang Prem berikan pada orang-orang tidak mampu. Apa kalian pernah melihat Kang Prem menikmati segala yang telah dia minta pada kalian?” Mereka geleng-geleng dan tambah merasa bersalah.

Seminggu, dua minggu berlalu mereka merasakan ada yang kurang. Tidak ada yang mengatur-ngatur dengan keras, tidak ada yang membangunkan dengan menggedor-gedor pintu. Kang Apang dan pengurus yang lain memang membangukan tapi beda dengan dulu sewaktu masih ada Kang Prem. Mereka sadar telah merasa kehilangan kang Prem.

* * *

Jama’ah sholat shubuh di Mushola dari hari ke hari semakin bertambah, tidak seperti biasanya. Saat sholat Tahajjud pun terkadang sebelum Kang Apang dan yang lain membangunkan sudah pada bangun.

Tiga bulan kemudian, dikeheningan sepertiga malam terakhir. Ada suara orang menggedor-gedor pintu dengan keras. ”Bangun-bangun.. ayo sholat Tahajjud.” Santri-santri reflek langsung bangun karena seperti mendengar suara Kang Prem. Kali ini mereka tersenyum dan menyalami kang Prem, ”wah datang kapan Kang?” Kang Prem ikut tersenyum tapi juga heran karena biasanya wajah mereka terlihat sangat kusut saat dibangunkan dan tidak secepat ini bangunnya.

tadi malam,” jawab Kang Prem singkat.

Semua santri sholat tahajjud, tidak ada yang absen. Orang yang mereka segani sudah datang.

Ternyata setelah pergi, kang Prem berhasil menumbuhkan kesadaran pada diri santri, mereka merasakan pengorbanan Kang Prem selama ini. Kang Prem merasa santri akan lebih baik jika dia tinggalkan.

Esoknya, kang Prem pergi lagi, kali ini tidak kembali.

UBAI BIN KA’AB

“Selamat Bagimu, Hai ABUL MUNZIR, Atas ilmu Yang Kamu Capai…!”

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  menanyainya: “Hai Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?” Orang itu menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi  pertanyaannya: “Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?” Maka jawabnya: “Allah tiada Tuhan melainkan la, Yang Maha Hidup         lagi Maha Pengatur ” (Q·S. 2 al-Baqarah:255)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun menepuk dadanya, dan dengan rasa bangga yang tercermin pada wajahnya, katanya: “Hai Abul Munzir! Selamat bagi anda atas ilmu yang anda capai!”

Abul Munzir yang mendapat ucapan selamat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang mulia atas ilmu dan pengertian yang dikaruniakan Allah kepadanya itu, tiada lain adalah Ubai bin Ka’ab, seorang shahabat yang mulia ….

Ia adalah seorang warga Anshar dari suku Khazraj, dan ikut mengambil bagian dalam perjanjian ‘Aqabah, perang Badar dan peperangan-peperangan penting lainnya. Ia mencapai kedudukan tinggi dan derajat mulia di kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu ‘anhu sendiri pernah mengatakan tentang dirinya: – “Ubai adalah pemimpin Kaum Muslimin… !”

Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang perintis dari penulis-penulis wahyu dan penulis-penulis surat. Begitupun dalam menghafal al-Qur”anul Karim, membaca dan memahami ayat-ayatnya, ia termasuk golongan terkemuka.

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepadanya: “Hai Ubai bin Ka’ab! Saya dititahkan untuk menyampaikan al-Quran padamu”. Ubai radhiyallahu ‘anhu maklum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  hanya menerima perintah-perintah itu dari wahyu      Maka dengan harap-harap cemas ia menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, ibu-bapakku menjadi tebusan anda! Apakah kepada anda disebut namaku?” Ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Benar! Namamu dan turunanmu di tingkat tertinggi…. ! Seorang Muslim yang mencapai kedudukan seperti ini di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pastilah ia seorang Muslim yang Agung, amat Agung ! Selama tahun-tahun pershahabatan, yaitu ketika Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu selalu berdekatan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tak putus-putusnya ia mereguk dari telaganya yang dalam itu airnya yang manis. Dan setelah berpulangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu menepati janjinya dengan tekun dan setia, baik dalam beribadat, dalam keteguhan beragama dan keluhuran budi ….Di samping itu tiada henti-hentinya ia menjadi pengawas bagi kaumnya. Diingatkannya mereka akan masa-masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, diperingatkan keteguhan iman mereka, sifat zuhud, perangai dan budi pekerti mereka.

Di antara ucapan-ucapannya yang mengagumkan yang selalu didengungkannya kepada shahabat-shahabatnya ialah: “Selagi kita bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tujuan kita satu …. Tetapi setelah ditinggalkan beliau tujuan kita bermacam macam, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan…..!

Ia  selalu  berpegang  kepada  taqwa  dan  menetapi  zuhud terhadap dunia, hingga tak dapat terpengaruh dan terpedaya. Karena ia selalu menilik hakikat sesuatu pada akhir kesudahannya. Sebagaimana juga corak hidup manusia, betapapun ia berenang dengan lautan kesenangan,dan kancah kemewahan, tetapi pasti ia menemui maut di mana segalanya akan berubah menjadi debu, sedang di hadapannya tiada yang terlihat kecuali hasil perbuatannya yang balk atau yang buruk ….

Mengenai dunia, Ubai pernah melukiskannya sebagai berikut: – “Sesungguhnya makanan manusia itu sendiri, dapat diambil sebagai perumpamaan bagi dunia: biar dikatakannya enak atau tidak, tetapi yang penting menjadi apa nantinya ?”

Bila Ubai radhiyallahu ‘anhu berbicara di hadapan khalayak ramai, maka semua leher akan terulur dan telinga sama terpasang, disebabkan sama terpukau dan terpikat, sebab apabila ia berbicara mengenai Agama Allah tiada seorang pun yang ditakutinya, dan tiada udang di balik batu.

Tatkala wilayah Islam telah meluas, dan dilihatnya sebagian Kaum Muslimin mulai menyeleweng dengan menjilat pada pembesar-pembesar mereka, ia tampil dan melepas kata-katanya yang tajam:  “Celaka mereka, demi Tuhan! Mereka celaka dan mencelakakan ! Tetapi saya tidak menyesal melihat nasib mereka, Hanya saya sayangkan ialah Kaum Muslimin yang celaka disebabkan mereka… !”

Karena keshalehan dan ketaqwaannya, Ubai selalu menangis setiap teringat akan Allah dan hari yang akhir….Ayat-ayat al-Quranul  Karim baik yang dibaca atau yang didengarnya semua menggetarkan hati dan seluruh persendiannya.

Tetapi suatu ayat di antara ayat-ayat yang mulia itu, jika dibaca atau terdengar olehnya akan menyebabkannya diliputi oleh rasa duka yang tak dapat dilukiskan. Ayat itu ialah:

” Katakanlah: la ( Allah ) Kuasa akan mengirim siksa pada kalian, baik dari atas atau dari bawah kaki kalian, atau membaurkan kalian dalan satu golongan berpecah-pecah, dan ditimpakan-Nya   kepada  kalian perbuatan  kawannya sendiri  (Q·S. 6 al-An’am: 65)

Yang paling dicemaskan oleh Ubai radhiyallahu ‘anhu terhadap ummat Islam ialah datangnya suatu generasi ummat bercakar-cakaran sesama mereka.

Ia selalu memohon keselamatan kepada Allah…dan berkat karunia serta rahmat-Nya, hal itu diperolehnya, dan ditemuinya Tuhannya dalam keadaan beriman, aman tenteram dan beroleh pahala….

 

 

UMMU SALAMAH r.a

Beliau adalah Hindun binti Abi Umayyah bin Mughirah al-Makhzumiyah al-Qursyiyah. Bapaknya adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya.

Ayahnya dijuluki sebagai “Zaad ar-Rakbi ” yakni seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena apabila dia melakukan safar (perjalanan) tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal bahkan ia mencukupi bekal milik temannya. Adapun ibu beliau bernama ‘Atikah binti Amir bin Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang terhormat.

Disamping beliau memiliki nasab yang terhormat ini beliau juga seorang wanita yang berparas cantik, berkedudukan dan seorang wanita yang cerdas.Pada mulanya dinikahi oleh Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad al-Makhzumi, seorang shahabat yang agung dengan mengikuti dua kali hijrah. Baginya Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri baik dari segi kesetiaan, kata’atan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang menggembirakan. Beliau senantiasa mendampingi suaminya dan bersama-sama memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy. Kemudian beliau hijrah bersama suaminya ke Habasyah untuk menyelamatkan diennya dengan meninggalkan harta, keluarga, kampung halaman dan membuang rasa ketundukan kepada orang-orang zhalim dan para thagut. Di bumi hijrah inilah Ummu Salamah melahirkan putranya yang bernama Salamah.

Bersamaan dengan disobeknya naskah pemboikotan (terhadap kaum muslimin dan kaumnya Abu Thalib) dan setelah masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthallib dan Umar bin Khaththab radhiallaahu ‘anhuma , kembalilah sepasang suami-isteri ini ke Mekkah bersama shahabat-shahabat yang lainnya.

Kemudian manakala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan bagi para shahabatnya untuk hijrah ke Madinah setelah peristiwa Bai’atul Aqabah al-Kubra, Abu Salamah bertekad untuk mengajak anggota keluarganya berhijrah. Kisah hijrahnya mereka ke Madinah sungguh mengesankan, maka marilah kita mendengar penuturan Ummu Salamah yang menceritakan dengan lisannya tentang perjalanan mereka tatkala menempuh jalan hijrah. Berkata Ummu Salamah:

“Tatkala Abu Salamah tetap bersikeras untuk berhijrah ke Madinah, dia menuntun untanya kemudian menaikkan aku ke atas punggung unta dan membawa anakku Salamah. Selanjutnya kami keluar dengan menuggang unta, tatkala orang-orang dari Bani Mughirah melihat kami segera mereka mencegatnya dan berkata: ‘Jika dirimu saja yang berangkat maka kami tidak kuasa untuk mencegahnya namun bagaimana dengan saudara kami (Ummu Salamah yang berasal dari Bani Mughirah) ini?’. Kemudian mereka merenggut tali kendali unta dari tangannya dan mencegahku untuk pergi bersamanya. Ketika Bani Abdul Asad dari kaum Abi Salamah melihat hal itu, mereka marah dan saling memperebutkan Salamah hingga berhasil mengambilnya dari paman-pamannya, mereka mengatakan:’Tidak! demi Allah kami tidak akan membiarkan anak laki-laki kami bersamanya jika kalian memisahkan istri dari keluarga laki-laki kami’. Mereka memperebutkan anakku, Salamah lalu melepaskan tangannya, kemudian anakku dibawa pergi bergabung dengan kaum bapaknya, sedangkan aku tertahan oleh Bani Mughirah.

Maka berangkatlah suamiku seorang diri hingga sampai ke Madinah untuk menyelamatkan dien dan nyawanya. Selama beberapa waktu lamanya, aku merasakan hatiku hancur dalam keadaan sendiri karena telah dipisahkan dari suami dan anakku. Sejak hari itu, setiap hari aku pergi keluar ke pinggir sebuah sungai, kemudian aku duduk disuatu tempat yang menjadi saksi akan kesedihanku. Terkenang olehku saat-saat dimana aku berpisah dengan suami dan anakku sehingga menyebabkan aku menangis sampai menjelang malam. Kebiasaan tersebut aku lakukan kurang lebih selama satu tahun hingga ada seorang laki-laki dari kaum pamanku yang melewatiku. Tatkala melihat kondisiku, ia menjadi iba kemudian berkata kepada orang-orang dari kaumku: ‘Apakah kalian tidak membiarkan wanita yang miskin ini untuk keluar? Sungguh kalian telah memisahkannya dengan suami dan anaknya’. Hal itu dikatakan secara berulangkali sehingga menjadi lunaklah hati mereka, kemudian mereka berkata kepadaku: ‘Susullah suamimu jika kamu ingin’. Kala itu anakku juga dikembalikan oleh Bani Abdul Asad kepadaku. Selanjutnya aku mengambil untaku dan meletakkan anakku dipangkuannya. Aku keluar untuk menyusul suamiku di Madinah dan tak ada seorangpun yang bersamaku dari makhluk Allah.

Manakala aku sampai di at-Tan’im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah. Dia bertanya kepadaku:’Hendak kemana anda wahai putri Zaad ar-Rakbi?’. ‘Aku hendak menyusul suamiku di Madinah”, jawabku. Utsman berkata: ‘apakah ada seseorang yang menemanimu?. Aku menjawab: ‘Tidak! demi Allah! melainkan hanya Allah kemudian anakku ini’. Dia menyahut: ‘Demi Allah engkau tidak boleh ditinggalkan sendirian’. Selanjutnya dia memegang tali kekang untaku dan menuntunnya untuk menyertaiku. Demi Allah tiada aku kenal seorang laki-laki Arab yang lebih baik dan lebih mulia dari Ustman bin Thalhah. Apabila kami singgah di suatu tempat, dia mempersilahkan aku berhenti dan kemudian dia menjauh dariku menuju sebuah pohon dan dia berbaring dibawahnya. Apabila kami hendak melanjutkan perjalanan, dia mendekati untaku untuk mempersiapkan dan memasang pelananya kemudian menjauh dariku seraya berkata: ‘Naiklah!’. Apabila aku sudah naik ke atas unta dia mendatangiku dan menuntun untaku kembali. Demikian seterusnya yang dia lakukan hingga kami sampai di Madinah. Tatkala dia melihat desa Bani Umar bin Auf di Quba’ yang merupakan tempat dimana suamiku, Abu Salamah berada di tempat hijrahnya. Dia berkata:’Sesungguhnya suamimu berada di desa ini, maka masuklah ke desa ini dengan barokah Allah’. Sementara Ustman bin Thalhah langsung kembali ke Makka”.

Begitulah, Ummu Salamah adalah wanita pertama yang memasuki Madinah dengan sekedup unta sebagaimana beliau juga pernah mengikuti rombongan pertama yang hijrah ke Habasyah. Selama di Madinah beliau sibuk mendidik anaknya – inilah tugas pokok bagi wanita – dan mempersiapkan sesuatu sebagai bekal suaminya untuk berjihad dan mengibarkan bendera Islam. Abu Salamah mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Pada Perang Uhud inilah beliau terkena luka yang parah. Beliau terkena panah pada begian lengan dan tinggal untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah sembuh.

Selang dua bulan setelah perang Uhud, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan bahwa Bani Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian beliau memanggil Abu Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Abu Salamah melaksanakan perintah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadapi musuh dengan antusias. Beliau menggerakkan pasukannya pada gelapnya subuh saat musuh lengah. Maka usailah peperangan dengan kemenangan kaum muslimin sehingga mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa ghanimah. Disamping itu, mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin tatkala perang Uhud.

Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abu Salamah pada hari Uhud kembali kambuh sehingga mengharuskan beliau terbaring ditempat tidur. Di saat-saat dia mengobati lukanya, beliau berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Salamah, aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tiada seorang muslimpun yang ditimpa musibah kemudian dia mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), dilanjutkan dengan berdo’a:’Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya’ melainkan Allah akan menggantikan yang lebih baik darinya”.

Pada suatu pagi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menengoknya dan beliau terus menunggunya hingga Abu Salamah berpisah dengan dunia. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memejamkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia, beliau mengarahkan pandangannya ke langit seraya berdo’a:

“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan Al-Muqarrabin dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal’Alamin”.

Ummu Salamah menghadapi ujian tersebut dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan kesabaran beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya.Beliau ingat do’a Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Salamah yakni:

“Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini…”

Sebenarnya ada rasa tidak enak pada jiwanya manakala dia membaca do’a: “Wakhluflii khairan minha” (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya) karena hatinya bertanya-tanya: ‘Lantas siapakah gerangan yang lebih baik daripada Abu Salamah?’. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan do’anya agar bernilai ibadah kepada Allah.

Ketika telah habis masa iddahnya, ada beberapa shahabat-shahabat utama yang bermaksud untuk melamar beliau. Inilah kebiasaan kaum muslimin dalam menghormati saudaranya, yakni mereka manjaga istrinya apabila mereka terbunuh di medan jihad. Akan tetapi Ummu Salamah menolaknya.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam turut memikirkan nasib wanita yang mulia ini; seorang wanita mukminah, jujur, setia dan sabar. Beliau melihat tidak bijaksana rasanya apabila dia dibiarkan menyendiri tanpa seorang pendamping. Pada suatu hari, pada saat Ummu Salamah sedang menyamak kulit, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan meminta izin kepada Ummu Salamah untuk menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Beliau ambilkan sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah. Tatkala Rasulullah selesai berbicara, Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Salamah, yakni; “Wakhlufli khairan minha” (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya), maka hatinya berbisik:’Dia lebih baik daripada Abu salamah’. Hanya saja ketulusan dan keimanannya menjadikan beliau ragu, beliau hendak mengungkapkan kekurangan yang ada pada dirinya kepada Rasulullah. Dia berkata:”Marhaban ya Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda ya Rasulullah…hanya saja saya adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengadzabku, lagi pula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia dan saya memiliki tanggungan keluarga. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:”Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Mengenai alasanmu bahwa engkau memiliki tanggungan anak-anak yatim, maka semua itu menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita pencemburu, maka aku akan berdo’a kepada Allah agar menghilangkan sifat itu dari dirimu. Maka beliau pasrah dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Dia berkata:”Sungguh Allah telah menggantikan bagiku seorang suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jadilah Ummu Salamah sebagai Ummul mukminin. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama para ummahatul mukminin.

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang cerdas dan matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan dapat mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa Hudaibiyah manakala Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabatnya untuk menyembelih qurban selepas terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun ketika itu, para shahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum muslimin. Berulangkali Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja tak seorangpun mau mengerjakannya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Salamah dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepada Ummu Salamah perihal kaum muslimin yang tidak mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah berkata:”Wahai Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu?. Jika demikian, maka silahkan anda keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga anda menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk mencukur rambut anda (tahallul).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau. Manakala para shahabat melihat apa yang dikejakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka bangkit dan menyembelih kurban mereka, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara bergantian. Hingga hampir-hampir sebagian membunuh sebagian yang lain karena kecewa. Setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap Ar-Rafiiqul A’la, maka Ummul Mukminin, Ummu Salamah senantiasa memperhatikan urusan kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau selalu andil dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya umat dan mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para penguasa dari para Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Tatkala tiba bulan Dzulqa’dah tahun 59 setelah hijriyah, ruhnya menghadap Sang Pencipta sedangkan umur beliau sudah mencapai 84 tahun. Beliau wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan kesabaran.

« Older entries